Selasa, 05 Mei 2009

Hukum Perikatan

PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM


Pada Pukul 11.00 WIB (sebelas Waktu Indonesia Barat)
Pada hari ini. Senin, tanggal dua belas September dua ribu delapan (12-9-2008) oleh dan antara :
1. Ny IRA, 40 Tahun, Pengusaha, Suatu Perseroan Terbatas yang didirikan dan berdiri menurut hukum Negara Republik Indonesia, bertempat tinggal Jalan Sudirman No.25, Jakarta Pusat, menurut keterangannya untuk melakukan perbuatan hukum mewakili Perusahaan Holding PT KARIMA INTI SANTOSA, yang selanjutnya disebut “KREDITUR”.
2. Nona Sandra Tiara SF, 35 Tahun, Wiraswasta, bertempat tinggal di Jalan Loji No.35, Cianjur, dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri, yang selanjutnya disebut “DEBITUR”
Dengan ini memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa :
1. KREDITUR adalah pengusaha yang mempunyai perusahaan Holding PT KARIMA INTI SANTOSA yang mempunyai usaha yaitu berupa toko batik, café dan restoran yang mewakili tempat usaha di Jakarta.
2. DEBITUR adalah seorang calon Notaris berkeinginan untuk membuka kantor praktek Notaris di Cianjur oleh karena itu ingin mengadakan kontrak hutang piutang dengan pihak sebagaimana pihak pertama juga berkeinginan untuk melakukan kontrak hutang piutang dengan pihak kedua.
Bahwa atas permohonan tersebut Kreditur dan Debitur telah saling setuju untuk dan dengan ini membuat/menetapkan perjanjian kredit dengan memakai syarat-syarat sebagai berikut :

Pasal 1
Hutang pihak kedua kepada pihak pertama adalah sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) seluruhnya akan diterima oleh pihak kedua dari pihak pertama pada saat penandatanganan perjanjian ini dan perjanjian ini dapat berlaku sebagai tanda penerimaan (kuitansi)yang sah atas pemberian pinjaman atau hutang tersebut. Jumlah pinjaman tersebut tidak termasuk bunga dan biaya-biaya lain.
Pasal 2
1. Hutang sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) tersebut diberikan oleh pihak pertama kepada pihak kedua untuk jangka waktu selambat-lambatnya 5 (lima) tahun terhitung sejak ditandatanganinya kontrak ini, sehingga dengan demikian seluruh utang pihak kedua kepada pihak pertama harus sudah lunas pada 12 September 2013.
2. Atas jangka waktu kontrak tersebut para pihak sepakat tidak adanya perpanjangan dalam bentuk dan keadaan apapun.
3. Kontrak hutang piutang ini tidak akan berakhir apabila salah satu pihak meninggal dunia, akan tetapi akan diteruskan oleh ahli warisnya masing-masing.
Pasal 3
Kedua para pihak sepakat bahwa utang piutang dibayar secara berangsur setiap bulannya paling lambat 12 (dua belas) setiap bulannya.
Pasal 4
Besarnya bunga yang disanggupi oleh pihak kedua untuk membayar bunga pinjaman sebesar 3% (tiga persen) setiap bulannya. Bunga mana harus dibayar bersamaan dengan pinjaman pokok.
Pasal 5
1. Setiap keterlambatan pembayaran angsuran pinjaman dan bunga oleh pihak kedua kepada pihak pertama dari tanggal pembayaran yang telah ditentukan dalam pasal 3 maka kepada pihak kedua dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp 20.000,- / hari terhitung dari tanggal terakhir pembayaran pinjaman dan bunga setiap bulannya.
2. Pembayaran atas denda keterlambatan pembayaran angsuran pinjaman dan bunga tersebut, dibayar secara tunai oleh debitur pada saat pembayaran atau pelunasan angsuran pinjaman keterlambatan dengan dicatat dalam kuitansi tersendiri dan terpisah dari kuitansi pembayaran angsuran pinjaman dan bunga.
Pasal 6
Untuk menjamin lebih jauh pembayaran kembali segala sesuatu yang atas ketentuan perjanjian ini atau karena apapun juga harus dibayar debitur kepada kreditur, baik karena pokok kredit, bunga dan biaya-biaya lainnya maka debitur memberikan jaminan kebendaan (harta) antara lain:
- 1 (satu) buah mobil Toyota soluna tahun 2002.
- Sebidang tanah yang terletak di daerah Cianjur di jalan sudirman Rt 002 Rw 005 Cianjur.
Pasal 7
1. Bilamana jumlah jaminan penjualannya melebihi utang debitur kepada kreditur, maka kreditur wajib untuk membayar kelebihan dari jumlah utang tanpa disertai bunga atau ganti kerugian kepada debitur
2. Apabila untuk melunasi utang debitur kepada kreditur dari hasil penjualan jaminan tersebut belum cukup, maka debitur tetap bertanggung jawab untuk melunasi kekurangannya.
Pasal 8
Atas perjanjian ini, baik mengenai pelaksanaanya maupun mengenai penafsirannya berlaku hukum perdata sebagaimana termaktub dalam kitab undang-undang hukum perdata untuk Indonesia.
Pasal 9
apabila dalam pelaksaan kontrak timbul perselisihan baik mengenai isi maupun pelaksaan kontrak maka para pihak sepakat menempuh penyelesaian secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
apabila jalan musyawarah tidak mencapai hasil dan kesepakatan para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan masalah ini melalui Pengadilan Negeri dimana perjanjian dibuat.
biaya-biaya penyelesaian perkara ini dibebankan kepada pihak yang kalah.
Pasal 10
Tentang perjanjian ini dan segala akibatnya kedua belah pihak memilih tempat tinggal hukum (domisili) pada kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Jakarta.
Demikian perjanjian kredit ini dibuat dengan sebenarnya dan dapat dijadikan bukti yang sah.


Jakarta, 15 September 2008
Debitur Kreditur



Nama : Nn Sandra Tiara SF Nama : Ny Ira

Hukum Jaminan

Persyaratan pemilikan kapal dirasa sangat berat terutama karena harga kapal sangat tinggi dan tidaak mungkin dibeli dengan tunai, kecuali dengan bantuan kredit bank maupun non Bank. Pasal 331 Wvk menyatakan bahwa kapal Indonesia adalah kapal yang dianggap sebagai demikian oleh Algemene Maatregelen van Bestuur tentang surat-surat laut dan pas kapal.
Penetapan surat laut dan pas kapal (zeebrieven, schhepspassen besluit) pasal 2 ayat (1) :
Kapal laut Indonesia adalah kapal laut :
a) Milik seorang atau lebih warga Negara Indonesia;
b) Sekurang-kurangnya dua pertiga milik warga Negara Indonesia dan selebihnya berdiam di Indonesia dan penduduk Indonesia dengan ketentuan ahli pembukuannya penduduk Indonesia dan berdiam di Indonesia.
Pasal 2 ayat (2) :
Yang dimaksud dengan warga Negara Indonesia :
1. Persekutuan firma dan persekutuan komanditer yang berdomisili di Indonesia, sedangkan sahamnya atau mitranya masing-masing bertanggung jawab dan warga Negara Indonesia.
2. Perseroan terbatas yang didirikan menurut hokum Indonesia dengan saham-sahamnya dua pertiga dimiliki warga Negara Indonesia dan berkediaman di Indonesia atau semua anggota Direksi warga Negara Indonesia dengan tiga perempat susunan komisaris warga Negara Indonesia dengan sekurang-kurangnya 2/3 warga Negara Indonesia, Indonesia, bertempat tinggal di Indonesia.
3. Perkumpulan, yayasan yang didirikan menurut hokum Indonesia dengan pengurusnya warga WNI dan sekurang-kurangnya dua pertiga berkediaman di Indonesia dengan dua pertiga susunan komisaris warga Negara Indonesia dan dua pertiga komisaris berkediaman di Indonesia.

Dari persyaratan ini nampak bahwa pemilikan harus berada ditangan warga Negara Indonesia yang bukan Warga Negara Indonesia atau perusahaan yang berkedudukan di Indonesia dengan syarat sekurang-kurangnya dua pertiga warga Negara Indonesia dan seterusnya. Tetapi dalam praktek hal ini mengalami kesulitan karena penafsiran dari Zeebrieven en Scheepsassenbesluit 1934 tersebut yaitu terjemahan “ Warga Negara Indonesia” dahulu disebut “Nederlandsche Onderdanen”. “Koninkrijk geventigde venotsschappen” diterjemahkan dengan persekutuan yang berkedudukan di Indonesia.
Tentang dua pertiga anggota pengurus harus warga Negara dan penduduk Indonesia dalam praktek sekarang telah dihapuskan. Praktek pemilikan perorangan atau harus warga Negara Indonesia dihapuskan dan hanya diperbolehkan pemiliksn oleh suatu badan hukum PT (Perseroan Terbatas) atau badan hokum (PT) dalam rangka patungan penanaman modal asing yang diperkenankan. Adanya praktek kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah menyimpang dari ketentuan “Zeebrieven en Scheppassen Besluit 1934” tidak lain dalam mengutamakan kepentingan nasional dimana kapal laut merupakan suatu “asset nasional”. Adanya “azas cabotage” dimana perairan Indonesia atau pelayaran pantai harus dilayari oleh kapal-kapal Nasional, merupakan persyaratan bahwa kapal yang didaftarkan di Indonesia atau badan hokum PT Indonesia. Hal ini bukan maksud untuk melarang kapal asing masuk diperairan Indonesia, karena untuk ini telah diatur dengan Undang-Undang Pelayaran 1936.
4. Hak Jaminan Kebendaan Hipotik Kapal Laut
Pemilikan suatu kapal memerlukan persyaratan yang berat antara lain jika pembelian/pembiayann pengadaan kapal harus dibayar dengan tunai, tetapi jika pembiayaan pengadaan kapal menggunakan fasilitas kredit memerlukan suatu jaminan kebendaan atas kapal tersebuut Perundang-Undangan mengenai Hipotik kapal telah diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang Perdata (Burgelijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Barat (Wetboek van koophandel). Dibeberapa Negara perbedaan yang essensial mengenai hak kebendaan, dalam hal ini terletak perbedaan dalam sistem hukum antara lain : Common Law/Anglo Saxon dan sistem Hukum Eropa/Kontinental.
Indonesia menganut system hokum Eropa/Kontinental berasal dari Nederland yang menganut konsep BW dan Wvk yang merupakan suatu hak kebendaan yang bersifat mutlak antara lain :
1. Dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
2. Memiliki sifat mengikuti ebndanya (droit de suite atau / zaaksgevolg), yang berarti hak tersebut mengikuti bendanya dimanapun juga dalam tangan siapapun jua benda tersebut berada;
3. Dalam hal terdapat persaingan persaingan antara beberapa hak kebendaan terhadap obyek yang sama, pada prinsip hak yang lebih tua atau tingkatannya lebih tinggi mendapat kedudukan yang lebih tinggi.
4. Hak jaminan yang bersifat kebendaan tidak terpengaruh oleh penyitaan yang dilakukan atas benda tersebut maupun kepailitan, atau lebih dikenal dengan droit de preference, atau hak terlebih dahulu.
sistem Common law yang telah diterima oleh beberapa Negara asean (Singapura, Philipina, Malaysia) dikenal suatu pranata jaminan kebendaan seperti mortgage/chattel mortage. Berbeda dengan Hipotik yang dibebankan pada benda yang tidak bergerak atau benda yang terdaftar sedangkam pranata mortgage dapat dibebankan atas benda yang tidak bergerak dan benda bergerak. Untuk benda yang bergerak disebut dengan Chattel Mortgage.
Definisi Chattel mortgage :
“An aggrement vesting in the creditor the title to the chattel, defeasable by performance on the part of the debtor of the obligation for which title to the chattel is confeveyed as security”.
Dalam definisi ini digambarkan suatu perjanjian yang member suatu hak (title) atas benda tertentu kepada kreditur, hak mana berakhir apabila debitur melaksanakan kewajibannya yang melekat pada pemberian hak tersebut, mengingat hak tersebut diberikan sebgai jaminan pelunasan suatu hutang.
Dua teori yang sangat berpengaruh pada chattel mortgage, yaitu :
a. Title theory (teori pemilikan), yang menganggap dengan suatu perjanjian chattel mortgage telah beralih hak milik atas benda jaminan tersebut dari pihak debitur ke pihak kreditur.
b. Lien theory (teori jaminan), yang menganggap bahwa perjanjian chattel mortgage hanya menimbulkan suatu hak jaminan dan tidak terjadi suatu pengalihan hak milik dari pihak debitur ke kreditur.
Pada hipotik atas kapal yang berlaku pada beberapa Negara dengan sistem hokum eropa continental berlaku dua asas khusus yaitu :
1. Asas publisitas (publicitiet beginsel) yang mempersyaratkan peletakan (vesliging) hipotik dengan pendaftaran dalam suatu register umum.
2. Asas (specialitet beginsel) bahwa hipotik hanya dapat diletakan (gevestig) pada benda-benda tertentu danini tetap diperoleh untuk mengatur hak hipotik yang terdaftar.
Saodargo Gautama manegaskan bahwa utang yang dijamin dengan Hipotik cukup kuat dan secara internasional dapat dilaksanakan.
Sri Soedewi, lembaga jaminan sebagian besar mempunyai cirri internasional, dikenal hamper disemua Negara dan perundang-undangan modern, bersifat menunjang perkembangan ekonomi dan perkreditan serta memenuhi kebutuhan masyarakat akan fasilitas modal. Kapal dalam status sewa beli (hirepurchase, huurkoop), leasing bare boat charter, dari luar negeri tidak diperkenankan didaftar menurut peraturan di Indonesia, karena pemilik dari kapal tersebut masih tetap ditangan pencharter terutama dalam bare boat dan pihak lessor dalam hal leasing.
Dengan tidak diperkenankan pendaftaran pada pendaftaran Indonesia, kapal tidak dapat memperoleh kebangsaan Indonesia dan tidak berhak berbeda Indonesia dan tidak berhak berbendera Indonesia. Dengan perkataan lain tidak diperkenankan beroperasi dipantai Indonesia, selain dengan dispensasi.
Dengan adanya deregulasi peraturan angkatan laut pemecahan masalah pengadaan armada niaga nasional dengan mengizinkan perusahaan swasta mencharter kapal-kapal dari luar negeri dan ini dianggap kurang tepat, karena akibatnya banyak pelaut Indonesia “menggangur” karena kapal-kapal charter tersebut menggunakan awak kapal dari Negara yang mencharter kapal tersebut.
Di beberapa Negara yang sudah maju, bare boat charter diperkenankan untuk didaftarkan selama masa charter, demikian pula di Philipina. Dengan demikian terbuka kesempatan untuk awak kapal Negara tersebut mengawaki kapal bare boat charter. Untuk menjamin pembayaran charter kapal kosong diperoleh dari lebaga keuangan melalui kredit dengan menjaminkan kapal sebagai collateral. Dengan demikian kapal bare boat dapat sebagai obyek jaminan kebendaan, pendaftaran hipotik kapal telah dapat dilakukan pada tempat kapal tersebut dioperasikan.
Konvensi pendaftaran kapal 1986 memungkinkan untuk mendaftarkan kapal bare boat charteratau charter tanpa awak pada pendaftaran kapal dari Negara tersebut.
3. Jaminan Kebendaan Maritime Liens atas Kapal
Dalam hokum maritime kita mengenal beberapa jaminan kebendaan atas kapal antara lain :
1. Jaminan maritime yang didahulukan (maritime hens)
2. Hipotik kapal (ship hypotecs)
3. Hak retensi (right of retention)
4. Hak preferensi lainnya (other prefential right)
Prioritas yang tertinggi adalah maritime liens, kemudian hipotik kapal, hak retensi, dan hal prefensi lainnya.
Maritime liens disebut juga dengan “jaminan maritime yang didahulukan” dan merupakan hak privilege menurut BW pasal 1139 dan 1149 membedakan antara privilege khusus dan privilege dan Wvk pasal l 316, merupakan piutang yang diberi hak mendahului atas kapal dalam pelunasan atau pembayaran piutangnya. Ada pendapat beberapa pengarang bahwa privilege ini bukan merupakan hak kebendaan, tapai dalam satu hal mempunyai sifat kebendaan, karena satu dua hal menunjukan sifat droit de suit. Dengan demikian privilege merupakan hak yang memberi jaminan menurut sistem BW, tetapi bukan merupakan hak kebendaan.
Tuntutan atau klaim yang dijamin terhadap maritime liens sesuai konfrensi Brussel tahun 1967 sebagai berikut :
a. Upah dan jumlah-jumlah lainnya yang wajib dibayar kepada nakhoda, para perwira dan para awak kapal lainnya berkenaan dengan hubungan kerja dengan mereka atas kapal yang bersangkutan.
b. Jumlah-jumlah yang harus dibayar untuk pelabuhan, terusan dan jalan perairan lainnya serta untuk pemanduan.
c. Klaim terhadap pemilik kapal sehubungan dengan kematian atau cedera pada badan yang dialami baik didaratan atau diatas air dalam hubungan langsung dengan pengoperasian kapal.
d. Klaim terhadap pemilik berdasarkan atas perbuatan melawan hokum yang tidak dapat didasarkan atas kontrak, tetapi menyebabkan kehilangan atau kerusakan pada barang; apakah itu terjadi didaratan atau air dalam hubungan langsung dengan pengoperasian kapal.
e. Klaim untuk penyelamatan kapal penyingkiran kapal karam dan sumbangan dalam hal kerugian laut umum (general average)
Maritime liens ini merupakan hak jaminan yang bersifat kebendaan dengan perkataan lain kepada siapa saja pemilik kapal itu beralih, hak jaminan itu mengikuti kapal tersebut.
Hak retensi yaitu untuk menahan benda Cq. Kapal dan diisyaatkan kapal tersebut harus masih berada dalam penguasaannya untuk menjamin tuntutannya, misalnya dengan pembangunan kapal bersangkutan telah selesai, sedangkan pembayaran belum lunas.
Maritime liens merupakan hak jaminan yang mendahulukan hipotik, sedangkan hipotik merupakan hak jaminan yang mendahulukan hak retensi.
Mengenai “jaminan maritime yang didahulukan” Wvk sendiri telah mengaturnya dalam pasal 316 dan disebut juga dengan “piutang yang diberi hak mendahului atas kapal” (bevoorrechte schulden) sebagai berikut :
1. Biaya-biaya sita lelang (eksekusi)
2. Tagihan nahkoda dan awak kapalnya yang timbul dari perjanjian perburuhan, selama mereka bekerja didalam kapal dinas itu.
3. Upah pertolongan, upah pandu, biaya pelabuhan dan biaya-biaya pelayaran lain-lain.
4. Tagihan karena tubrukan.
Hubungan antara hipotik dan “jaminan maritime yang didahulukan” (maritime liens) pada hakekatnya merupakan benda yang bergerak (pasal 510 KUHPerdata). Agar kapal memiliki surat kebangsaan harus diadakan pendaftaran pada kantor pendaftaran yang khusus diadakan untuk itu. Hanya kapal dengan ukuran tertentu yang telah dudaftar menurut peraturan pendaftaran kapal dapat dibebankan hipotik. Hak jaminan terhadap benda yang tidak bergerak atau benda bergerak disebut hipotik.
Lahirnya hipotik karena adanya perjanjian hutang baik didepan notaries maupun dibawah tangan. Tetapi akta hipotik kapal dapat dibuat oleh pejabat umum pendaftaran kapal dan disebut dengan grosse akta hipotik. Jika debitur tidak dapat membayar hutang, maka kapal yang dihipotikan atau yang menjadi jaminan dimintakan sita eksekusi pada pengadilan dan diadakan pelelangan umum terhadap kapal tersebut oleh pengadilan. Mengenai parate eksekusi ini diatur dalam HIR pasal 224 jo Rv pasal 440.
Hubungan antara pranata jaminan hipotik dengan meritim liens, adalah bahwa kedua-keduanya merupakan hokum jaminan yang bersifat kebendaan pula hak yang diprioritaskan, sedangkan perbedaannya hipotik lahir karena adanya suatu perjanjian kredit dengan membebankan kapal sebagai jaminan, sedangkan maritime liens merupakan ketentuan hak jaminan yang telah ditetapkan oleh undang-undang suatu konvensi internasional.
Secara garis besar gabungan antara hipotik dengan maritim liens, karena kedua-duanya merupakan hokum jaminan yang bersifat kebendaan, maka pasal 315 BW adalah merupakan asas penting yaitu pemegang hipotik, tetap berhak melakukan penagihan atas kapal yang dihipotikan walaupoun kapal tersebut telah berada ditangan pihak ketiga.
Asas ini disebut dengan asas “Droit de Site” atau “zaakgevolg” yaitu hubungan hokum yang bersifat kebendaan.

STATUS HUKUM DAN BATASAN KAPAL LAUT
Bertolak dari sudut pandang Hukum Maritim yang berfokus pada kapal laut sebagai obyek hukum (recht-object) sebagaimana diatur dan dirumuskan dalam ketentuan BW, WVK, ordonansi dan Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal dan Konvensi Maritim Internasional.
Pasal 748 WVK mengatur tentang kapal-kapal yang semata-mata dipergunakan untuk perairan pedalaman menurut pasal 1 Schepenordonantie 1927.
Pasal 749 WVK dan seterusnya sampai dengan pasal 751 WVK mengatur tentang kapal sungai dan pedalaman

STATUS HUKUM KAPAL LAUT DALAM HUKUM PUBLIK
Sifat karakteristik dari suatu kapal menurut hokum public diberi tanda kebangsaan satu Negara tertentu yang di Indonesia diatur dalam Zeebrieven en Scheeppassen Besluit 1934 dan Ordonantie 1935 sebagai Hukum Nasional warisan Hindia Belanda. Dengan memenuhi persyaratan hokum nasional status bukti nasionalistis/kebangsaan yang disebut dengan surat laut dan atau pas kapal.
Nasionalitas kapal laut menunjuk kepada adanya hubungan khusus antara kapal laut dengan Negara tertentu itu..
Pada saat yang sama Negara tersebut bertindak sebagai pelindung (protect) dan penjamin (guarantor) menurut Hukum Internasional. Dengan demikian hubungan kapal laut dengan Negara dimana kapal laut didaftar untuk memperoleh nasionalitasnya atau kebangsaan berhak untuk menikmati hak khusus menurut hokum internasional :
a) Kapal tersebut berada dibawah juridiksi Negara bendera kapal (flagstate) dalam hal pengaturan administrative yaitu perihal kelaikan laut, dan hokum pidana atas kejahatan awak kapal yang dilakukan diatas kapal.
b) Negara bendera kapal berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional atas kapal yang membawa benderanya.
c) Kapal yang bersangkutan memperoleh keuntungan perlindungan dari Negara bendera kapal yang diberikan kepada warga negaranya.
d) Registrasi atau pendaftaran dianggap sebagai bukti pemilikan (evidence of title) walaupun di berbagai Negara bukti ini tidak mutlak.

STATUS HUKUM KAPAL LAUT DALAM HUKUM PERDATA
Hokum perdata yang pertama-tama menguasai suatu kapal laut adalah pengaturan hokum keperdataan yang menguasai benda tidak bergerak.
Di Indonesia BW pasal 510 mengatur kapal laut sebagai benda bergerak, tetapi WVK pasal 314 mengatur bahwa kapal laut 20 M3 isi kotor dapat didaftarkan dan yang akan ditentukan dalam suatu ordonansi tersendiri.
Wvk pasal 314 alina 3 menyatakan bahwa kapal laut yang terdaftar dapat dibebankan dengan hipotik. Mengingat kapal laut perlu didaftar para ahli hokum sependapat untuk mengkualifikasikan kapal laut sebagai benda bergerak terdaftar (registered moveble property).

BATASAN KAPAL LAUT
Pengertian kapal menurut Undang-undang pelayaran No.21/1992 menggunakan definisi
“kapal adalah kendaraan air dari sejenis apapun termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah air, alat apung dan bangunan air yang tetap dan terapung”.
Mengenai halnya kapal laut, pasal 310 WVK memberikan definisi antara lain:
“kapal laut adalah kapal yang dipergunakan untuk pelayaran di lautan atau yang dimaksudkan untuk itu”.
Dari ketentuan pasal 314 ayat (1) untuk kapal diatas 20M2 dapat didaftarkan, menimbulkan permasalahan karena dengan delikian pendaftaran kapal di bawah 20M2 tidak dimungkinkan sebagaimana diatur dalam ordonansi pendaftaran kapal dan Balik Nama Kapal 1933.
Sedangkan tujuan pendaftaran kapal diperlukan untuk memperoleh surat kebangsaan kapal dan hanya kapal yuang telah terdaftar dapat diadakan hipotik.
KAPAL LAUT SEBAGAI OBYEK JAMINAN HIPOTIK
Dalam hukum perdata, ada kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht) dan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelij zekerheidrecht). . hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan itu senantiasa tertuju kepada orang lain, baik benda bergerak dan benda bergerak.
Jika benda jaminan tertuju pada benda tak bergerak, maka jaminan kebendaan tersebut berupa “hypotheek”, jika benda jaminan itu tertuju pada benda bergerak, maka hak kebendaan tersebut berupa “gadai” atau fiducia.
Hak hipotik dalam BW diatur dalam Buku II Titel 21 pasal 1162-1232, dengan undang-undang No.5 Tahun 1960 telah mencabut Buku II BW dengan pengecualilan Titel 21 dari Buku II BW tentang Hipotik. Berdasarkan pasal 57 Undang-undang No.5 tahun 1960 sebagai aturan peralihan mengatur bahwa selama Undang-undang hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka ketentuan hipotik yang diatur dalam Buku II Titel 21 tetap berlaku yang diamksud dengan”hypotheek” diatur dalam BW 1162 :
“Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya bagi suatu pelunasan suatu perutangan”.
Dengan demikian hipotik adalah hak untuk menjamin pembayaran hutang. Hak hipotik hanya berisi hak untuk pelunasan hutang saja (verhaalsrecht) dan tidak mengandung hak untuk menguasai/memiliki benda itu vide pasal 1178 BW alinea 1. Namun diberi hak memperjanjikan menjual atas kekuatan sendiri bendanya manakala Debitur wanprestasi vide pasal 1178 alinea 2.
Dalam praktek yang berlaku sekarang pendaftaran kapal dilakukan juga pada Ditjen Perla sub Direktorat Pengukuran dan Pendaftaran Kapal dan pada Kantor Syahbandar yang ditetapkan oleh Pemerintah. Untuk balik nama kapal dan pendaftaran hipotik atas kapal selain dialkukan pada sub Direktorat Pengukuran dan Pendaftaran Kapal Ditjen Perla juga pada Kantor Syahbandar yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pada FDitjen Perla Jakarta, terdapat suatu Buku Pendaftaran Pusat dan Buku Induk Pendaftaran untuk administrasi seluruh pendaftaran kapal.
Untuk mmemperoleh surat laut atau pas tahunan disebut juga Surat Kebangsaan Kapal diisyaratkan Grosse akta/salinan akta pertama pendaftaran atas nama pemohon/pemilik. Pendaftaran kapal Indonesia hanya dapat dilakuan di Pelabuhan Kantor Kesyahbandaran setempat yang ditunjuk oleh Ditjen Perla, yaitu :
Untuk Wilayah Kesyahbandaran :
Sumatera : Sabang, sibolga, Teluk Bayur, Palembang, Jambi, Badansiapi-api, dumai, Belawan, Tanjung Pinang
Jawa : Ditjen Perla di Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Nusa Tenggara : Benoa, Kupang
Kalimantan : Pontianak, Banjarmasin, Samarinda
Sulawesi : Makasar, Donggala, Manado, Ujungpandang
Maluku : Ambon
Irian : Ambon, Srong, Manokwari, Merauke.

PEMILIKAN DAN HAK JAMINAN KEBENDAAN ATAS KAPAL LAUT
PEMILIKAN ATAS KAPAL :


Persyaratan pemilikan kapal dirasa sangat berat terutama karena harga kapal sangat tinggi dan tidak mungkin dibeli dengan tunai, kecuali dengan bantuan kredit Bank maupun non Bank. Pasal 331 Wvk menyatakan bahwa kapal Indonesia adalah kapal yang dianggap sebagai demikian oleh Algemene Maatregelen van Bestuur tentang surat-surat laut dan pas kapal.
Penetapan surat laut dan pas kapal (zeebrieven, schepspassen besluit) pasal 2 ayat (1) :
Kapal laut indonesia adalah kapal laut :
a) Milik seorang atau lebih warga Negara Indonesia
b) Sekurang-kurangnya dua pertiga milik warga Negara Indonesia dan selebihnya berdiam di Indonesia dan penduduk Indonesia dengan ketentuan ahli pembukuannya penduduk Indonesia dan berdiam di Indonesia.
Hak Jaminan Kebendaan Hipotik Kapal Laut
Indonesia menganut sistem hukum Eropa / Kontinental berasal dari Nederland yang menganut konsep BW dan Wvk yang merupakan suatu hak kebendaan yang bersifat mutlak antara lain :
1. Dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
2. Memiliki sifat mengikuti bendanya (droit de suite atau / zaaksgevolg), yang berarti hak tersebut mengikuti bendanya dimanapun juga dalam tangan siapapun juga benda tersebut berada;
3. Dalam hal terdapat persaingan antara beberapa hak kebendaan terhadap obyek yang sama, pada prinsipnya hak yang lebih tua atau tingkatannya lebih tinggi mendapat kedudukan yang lebih tinggi.
4. Hak jaminan yang bersifat kebendaan tidak terpengaruh oleh penyitaan yang dilakukan atas benda tersebut maupun kepailitawn, atau lebih dikenal dengan droit de preference, atau hak terlebih dahulu

HIPOTIK ATAS PESAWAT UDARA

1. Status Hukum Pesawat Udara
Dalam bidang hukum perdata, status hukum pesawat udara adalah benda tidak bergerak.
2. Tanda Kebangsaan Pesawat Udara
a. Pesawat terbang dan helicopter yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda kebangsaan.
b. Tanda kebangsaan Indonesia hanya diberikan kepada pesawat terbang dan helicopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia.
1.
2.
3. Tanda Pendaftaran Pesawat Udara
a. Pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran
b. Pesawat udara sipil yang dapat memperoleh tanda pendaftaran Indonesia adalah pesawat udara yang tidak didaftarkan di Negara lain dan memenuhi ketentuan sebagai berikut :
- Dimiliki oleh warga Negara Indonesia atau dimiliki oleh badan hokum Indonesia.
- Dimiliki oleh warga Negara asing atau badan hokum asing diopersikan oleh warga Negara Indonesia atau badan hokum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya minimal 2 tahun secara terus-menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha atau bentuk perjanjian lainnya.
- Dimiliki oleh instansi pemerintah
- Dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan pemerintah
4. Pesawat Udara sebagai Jaminan Hipotik
1) Jaminan pesawat udara melalui hipotok, mortgage dan fiducia
2) Kecuali ditentukan lain, pesawat udara adalah pesawat terbang atau helicopter.
3) Pesawat terbang dan helicopter yang telah mempunyai tana pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotik
4) Pembebanan hipotok pada pesawat terbang dan helicopter harus didaftarkan.
5. Syarat Jaminan Hipotik atas Pesawat Udara
1) Pesawat udara tersebut telah memenuhi syarat publisitas (operbaarheid) atau telah didaftarkan dan mempunyai tanda kebangsaan Indonesia
2)
6. Bentuk Perjanjian Pembebanan Hipotik
7. Pendaftaran Hipotik, Mortgage dan Fiducia P:esawat Udara
Hipotek Dalam Undang-Unmdang Penerbangan
Transportasi udara sebagai salah satu jenis alternative sarana perhubungan yang memiliki corak khas, juga sangat perlu dikembangkan mengingat tuntutan teknologi kedigantaraan yang tak mungkin diabaikan. Pemerintah mengambil kebijakan untuk menerapkan berlakunya suatu aturan perundangan di bidang penerbangan sebagaimana tertuang dalam UU No.15 Tahun 1992.
Dalam rangkaian kelahiran Undang-undang Penerbangan Nasional, pemerintah juga telah merakit suatu ketentuan untuk memberikan kemungkinan dibebaninya sebuah pesawat udara dengan hak jaminan. Seperti yang Nampak pada Bab V pasal 12 UU No.15 / 1992 ditetapkan bahwa :
(1) Peswat terbang dan helicopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek
(2) Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helicopter sebagaimana dalam ayat (1) harus didaftarkan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan mengamati pasal 12 UU No.15 / 1992 tersebut, bahwa lembaga jaminan hipotek telah muncul dalam kerangka pembebanan terhadap pesawat udara.
Bahwa pesawat udara dapat dijadikan obyek jaminan, secara internsional sudah lama diakui. Begitu pula hak-hak jaminan kreditor atas pesawat udara untuk mendukung pinjaman yang diberikan, oleh konvensi Genewa 1948 sudah diatur pula perlindunganya. Hal ini Nampak antara lain dalam tulisan Martono :
Konvensi tersebut yang disahkan pada tahun 1948, antara lain mengatur :
a. Perlindungan pihak kreditor yang meminjamkan uang dengan jaminan pesaawat udara :
- Melindungi pihak ketiga terhadap jaminan-jaminan hutang yang tersembunyi;
- Melindungi kreditor dengan memberikan hak untuk didahulukan piutangnya terhadap pihak ketiga.
b. Hak-hak yang dilindungi oleh konvensi adalah :
- Mortgage, hipotik dan jaminan-jaminan lain yang serupa;
- Hak kepemilikan;
- Hak menguasai pesawat udara dengan sewa yang lebih dari 6 bulan;

Hukum Keluarga dan Perkawinan

Sekalipun dalam KUHPerdata, pengakuan luar kawin (bagian ketiga), namun karena pada umumnya orang mengakui anak luar kawin lebih sebelum mengesahkannya. Pembagian dalam 3 (tiga) kelompok adalah sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 283 KUHPerdata, dan khususnya penyebutan “anak luar kawin” untuk kelompok yang ketiga adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pembagian tersebut dilakukan karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-semdiri) atas status anak-anak seperti tersebut diatas. Sekalipun anak dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah tetapi dalam perbandingan dalam pasal 283 KUHPerdata bahwa anak luar kawin (menurut Pasal 280) di satu pihak, dengan anak zinah dan anak sumbang (pasal 283) di lain pihak, adalah berbeda.
Berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengn Pasal 273 KUHPerdata bahwa anak zinah berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalam keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian ini diberikan untuk anak zinah.
Perbedaan antara luar kawin dengan anak zinah terletak pada saat pembuahan, atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan yaitu, apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan.
Kalau seorang ibu, pada waktu tidak dalam ikatan perkawinan, mengadakan hubungan dengan seorang laki-laki, dan membuahkan seorang anak, tetapi sebelum kelahhiran anak itu, jadi dalam keadaan mengandung si ibu menikah dengan seorang lelaki lain daripada laki-laki yang membuahi janin yang dikandungnya maka anak itu, yang nantinya ternyata lahir sepanjang perkawinan yang sah dari si ibu dan suaminya, adalah anak sah dari ibu yang melahirkan anak itu dan memperoleh suami si ibu sebagai ayahnya (Pasal 250 KUHPerdata jo Pasal 42 UUP). Dalam kasus sesudah menghamili si perempuan, lalu lelaki itu menikah dengan ibu dari perempuan yang dihamili si perempuan, lalu lelaki itu menikah dengan ibu dari perempuan yang dihamili itu, maka anak itu, kalau kemudian ia lahir hidup, bukan anak sumbang sekalipun anak itu dibersihkan pada saat belum ada ikatan perkawinan dengan ibu dari perempuan yang melahirkan anak itu.
Sebaliknya adalah, kalau seorang perempuan mengadakan hubungan dengan lelaki lain daripada suaminya, dan anak hasil hubungan itu lahir sepanjang perkawinan perempuan itu dengan suaminya, tetapi suaminya, tetapi suami dari perempuan yang melahirkan anak itu, bias membuktikan bahwa ia bukan ayah anak tersebut (pasal 252 KUHPerdata), maka anak itu tetap merupakan anak zinah.
Patokannya untuk menetapkan seorang anak adalah anak zinah atau anak sumbang, adalah saat anak itu dibenihkan, bukan saat kelahiran.
Perumusan
Yang dimaksud dengn anak-anak yang tidak dilahirkan di dalam atau sebagai dari suatu perkawinan yang sah, tafsirkan secara a coitrario dari Pasal 250 KUHPerdata dan pasal 42 UUP. Adapun apa yang dimaksud dengan dilahirkan “sepanjang perkawinan” dan “sebagai akibat dari perkawinan”.
Anak zinah adalah anak-anak, yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dimana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain.
Di dalam KUHPerdata menganut asas perkawinan monogamy secara konsekuensi, sehingga tidak mungkin seorang laki-laki pada saat yang sama, mempunyai 2 (dua) orang istri yang sama-sama sah (pasal 27 KUHPerdata).[1]
Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang, ada larangan untuk saling menikahi (pasal 31 KUHPerdata).
Undang-undang melarang perkawinan antara mereka yang mempunyai kecekatan hubungan darah atau semenda. Mereka-mereka yang adalah keluarga sedarah atau semenda sampai derajat tertentu, undang-undang memberikan perkecualian (Pasal 31 ayat (2) KUHPerdata).
Anak luar kawin yang juga disebut anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan denagn orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi.[2] (anak-anak yang demikian yang bias diakui secara sah oleh ayahnya).
Akibat hokum perbedaan kedudukan anak (uu no 1/74)
Adanya ketentuan pasal 43 UUP :

Walaupun harus diakui bahwa belum ada peraturan pelaksanaan lebih lanjut atas ketentuan itu, dan petunjuk MA melalui Surat No. MA/Pemb/0807/75 tertanggal 20 Agustus 1975 juga menyatakan, bahwa mengenai “kedudukan anak” masih berlaku ketentuan-ketentuan lama. Namun demikian, sebagai suatu asas, kiranya Pasal Pasal 43 UUP perlu kita perhatikan.
Anak sah dan anak luar kawin
Yang membedakan antara antara anak sah dengan anak luar kawin adalah apa yang disebut dalam Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan, bahwa :
“Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya”.[3]
Hal itu berarti, bahwa antara anak luar kawin dengan “ayah” (biologisnya) maupun “ibunya” pada asasnya tidak ada hubungan hokum. Hubungan hokum itu baru ada, kalau “ayah” dan / atau “ibunya” memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian tanpa pengakuan dari ayah dan/atau ibunya, pada asanya anak itu bukan anak siapa-siapa; ia tidak mempunyai hubungan dengan siapapun.
Ini berbeda dengan anak sah, yang walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang, tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada, ditafsirkan demi hokum mempunyai hubungan hokum dengan orang tuanya.
Demi hukum di sini dimaksudkan, bahwa hubungan hokum dengan orang tuanya terjadi secara otomatis, dengan sendirinya, tanpa yang bersangkutan harus berbuat apa-apa.
Dapat disimpulkan bahwa hubungan hokum antara orang tua dengan anaknya yang sah, didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya, tetapi bila dihubungkan dengan anak luar kawin, maka hubungan hokum antara anak luar kawin dengan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan.
Disamping perbedaan-perbedaan lain inilah (demi hokum adanya hubungan hokum dengan ayah dan ibunya) cirri utama yang membedakan antara anak sah dengan anak luar kawin.
Kedudukan anak luar kawin di dalam hokum ternyata adalah inferieur (lebih jelek / rendah) disbanding dengan anak sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orang tua (Pasal 299 KUHPerdata), sedangkan anak luar kawin berada di dalam perwalian (Pasal 306 KUHPerdata). Hak bagian anak sah dalam pewarisan orang tuanya, lebih besar daripada anak luar kawin (Pasal 863 KUHPerdata) dan hak anak luar kawin untuk menikmati warisan melalui surat wasiat, dibatasi (Pasal 908 KUHPerdata).[4]
Di samping pembedaan antara anak luar kawin dengan anak sah seperti tersebut di atas, di antara para anak luar kawin sendiri masih dibedakan lagi antara anak luar kawin yang diakui secara sah dan anak luar kawin yang tidak diakui.
Pengakuan anak luar kawin membawa bermacam-macam konsekuensi dalam hukum :
Posisi anak luar kawin yang disebutkan di atas adalah pandangan hukum, yang tidak selalu dengan kenyataan yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataannya, anak luar kawin banyak yang diterima dan diperlakukan sama dengan seorang anak sah dalam keluarga yang bersangkutan.[5] Hal itu merupakan tanda, bahwa lembaga perkawinan bukan merupakan lembaga yang memang ada menurut alamnya, melainkan merupakan lembaga yang diciptakan oleh undang-undang, padahal keabsahan seorang anak didasarkan atas adanya suatu perkawinan yang sah.[6]

Setiap orang paling tidak sekarang yang mendengar prinsip, bahwa anak luar kawin baru mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, kalau si ibu mengakui anak tersebut, pasti merasakan ada sesuatu yang janggal. Seorang ibu harus mengakui anaknya lebih dahulu, baru ada hubungan hukum, padahal demikian itulah prinsip yang diletakan dalam pelaksanaanya memang tidak bisa dipertahankan secara konsekuen. Pasal 5a KUHPerdata mengatakan:
“bahwa anak tidak sah, yang tidak diakui oleh bapaknya, memakai nama keturunan ibunya”.[7]
Karena ketentuan tersebut bersifat umum tidak terbatas pada anak yang diakui oleh ibunya, adalah bahwa anak tidak sah, baik yang diakui oleh ibunya maupun yang tidak, demi hukum memakai nama keluarga ibunya.
Menurut pasal 288 KUHPerdata, orang diperbolehkan untuk menyelidiki, siapa ibu seorang anak. Kalau orang telah membuktikan siapa ibu seorang anak, logisnya bahwa dengan pembuktian itu, timbul hubungan antara si ibu dengan anak itu, maka disini ada semacam pengakuan, tetapi yang dipaksakan. Hal itu berarti, bahwa bias timbul suatu suatu hubungan hokum antara seorang ibu dengan anaknya, tanpa melalui suatu pengakuan setidaknya-tidaknya, kalau yang kita sebut sebagai “pengakuan” adalah pengakuan yang diberikan secara sukarela yaitu melalui sarana pasal 288 KUHPerdata, yang juga disebut sebagai pengakuan yang dipaksakan
Orang membedakan pengakuan anak luar kawin dalam 2 (dua) kelompok :
1. Pengakuan secara sukarela
Pengakuan anak secara sukarela dalam doktrin dirumuskan sebagai suatu pernyataan, yang mengadung pengakuan, bahwa yang bersangkutan adalah ayah atau ibu dari anak luar kawin yang diakui olehnya.
Pada umumnya pengakuan diberikan kepada anak yang sudah dilahirkan, namun demikian, dengan mendasarkan kepada pasal 2 KUHPerdata, tidak tertutup kemungkinan untuk mengakui anak yang belum dilahirkan.
Pasal 2 merupakan suatu ketentuan umum. Dalam pasal 279 KUHPerdata harus dipenuhi syarat, bahwa anak yang sudaah mati, yang mau diakui.
Bahwa ada kemungkinan ada kebutuhan seperti, kalau anak yang akan diakui itu mati lebih dahulu dari orang yang akan mengakuinya, padahal anak itu meninggalkan keturunan sah. Kalau anak yang mati bias diakui secara sah, amak ada hubungan hokum antara orang yang mengakui dengan anak yang mati itu, dengan konsekuensinya, keturunan sah dari simati, bias menggantikan tempat si mati mewaris orang yang mengakui si mati (Pasal 868 KUHPerdata)
Kiranya mengakui anak yang sudah mati bias dibenarkan kalau memang ada kepentingan untuk itu.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa akibat hokum dariapada suatu pengakuan adalah munculnya hubungan hokum yang terbatas, yaitu hanya antara yang mengakui dan yang diakui saja, tidak dengan keluarga anak luat kawin yang diakui maupun keluarga pihak yang mengakuinya.
Hal itu dapat disimpulkan dari bunyi pasal 280, ini perlu dikemukakan karena dalam perkembangannya hubungan hokum antara seoranga anak yang lahir di luar perkawinan dengan ibunya terjadi demi hukum (pasal 43 UUP), bahkan dengan seluruh keluarga ibunya.
Pasal 281 KUHPerdata memberikan pengaturan mengenai, bagaimana pengakuan secara sukarela itu diberikan, dengan mengatakan :
“pengakuan terhadap seorang anak luar kawin, apabila yang demikian itu tidak telah dilakukan di dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan tiap akta otentik.
Ada 3 (tiga) untuk mengakui anak luar kawin secara sukarela, yaitu :
- Di dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan
- Di dalam akta perkawinan
- Di dalam akta otentik
Karena pengakuan itu baru sah, kalau diberikan di hadapan seorang Notaris atau Pegawai Catatan Sipil (bias dalam surat lahir; akta perkawinan maupun akta tersendiri), padahal keduanya adalah Pejabat Umum, yang memang diberikan kewenangan khusus untuk membuat akta-akta seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa pengakuan anak luar kawin harus diberikan dalam suatu akta otentik.
Karena tidak disyaratkan, bahwa akta otentik yang bersangkutan (yang dibaut dihadapan notaries) harus semata-mata memuat pengakuan anak luar kawin, maka pengakuan juga dapatdiberikan di dalam suatu wasiat umum, yang dibuat di hadapan seorang Notaris. Secara tegas disebutkan wasiat umum, karena wasiat olographisch dibaut dibawah tangan dan karenanya tidak memenuhi syarat Pasal 281 KUHPerdata.
Karena wasiat merupakan tindakan hokum sepihak, maka wasiat pada asasnya bias ditarik kembali oleh pembuatnya.[8]
Para sarjana berpendapat bahwa pengakuan bersifat Deklatoir, Berpendapat, bahwa sekali pengakuan itu telah diberikan, maka pengakuan itu tidak bias ditarik kembali.
Dilain pihak juga harus diakui, bahwa suatu wasiat baru berlaku dan karenanya baru mempunyai akibat hokum seperti yang dikehendaki oleh pembuatnya. Pada saat si pembuat wasiat meninggal, jadi selama di pembuatnya masih hidup termasuk pada saat ia menarik kembali wasiatnya, wasiat itu belum punya kekuatan apa-apa.
Di dalam praktek yang paling sering adalah pengakuan oleh seorang ayah, yang namanya disebutkan dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan. Pengakuan seperti itu diberikan oleh ayah yang bersangkutan pada saat waktu melaporkan kelahiran anaknya.[9]
Cara yang kedua tersebut adalah pengakuan yang diberikan dalam akta perkawinan dari ayah dan ibu si anak luar kawin.
Hal itu berarti, bahwa lelaki dan perempuan yang semula mengadakan hubungan di luar nikah dan menghasilkan anak luar kawin, kemudian memutuskan untuk saling menikahi secara sah, dan sekaligus mengakui anak luar kawinnya. Jadi, yang diatur disini adalah pengakuan anak luar kawin yang sudah dilahirkan, dan pada waktu melaporkan kelahiran, belum diberikan pengakuan oleh “ayahnya”. Pengakuan seperti ini membawa akibat yang lebih jauh lagi, sebagai yang diatur dalam Pasal 272 KUHPerdata :“kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zinah atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan diluar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya, akan menjadi sah, apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan undang-undang atau, apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri”.
Cara yang ketiga adalah pengakuan yang dituangkan dalam suatu otentik. Yang dimaksud dengan akta otentik disini adalah akta notaries.
Pengakuan dalam akta otentik perlu ditindaklanjuti dengan melaporkannya kepada kantor Catatan Sipil, dimana kelahiran anak itu dulu telah didaftarkan, dan minta agar pengakuan itu dicatat dalam minit akta kelahiran yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, pasal 37 PJN menetapkan, bahwa :
“notaries wajib untuk melaporkan tiap-tiap pengakuan anak luar kawin yang dilakukan dihadapannya kepada Balai Harta Peninggalan, dalam wilayah mana ia bertempat kedudukan, dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam, dengan sekaligus memberitahukan, apakah ayah dan ibunya yang mengakuinya sudah dewasa atau belum, dan apakah pengakuan yang dilakukan oleh ayahnya terjadi sebelum dan sesudah ibunya meninggal”.
Di luar ketiga cara pengakuan seperti di atas, masih ada 1 (satu) lagi cara pengakuan anak luar kawin, seperti yang disebutkan dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata, yang berbunyi :
“pengakuan yang demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan dibukukan register kelahiran menurut hari penanggalannya. Pengakuan ini harus dicatat dalam jihat akta kelahiran”.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa pengakuan disini dilakukan terhadap anak yang sudah dicatat kelahirannya sebagai anak luar kawin, di dalam register kelahiran di Kantor Catatan Sipil.
Pengakuan susulan seperti ini ternyata, selain bias dilakukan dalam suatu akta notaries, juga nisa dilakukan di hadapan pegawai Catatan Sipil, yang wajib untuk membukukannya dalam register kelahiran yang berjalan, dan selanjutnya mencatat pengakuan itu di dalam minit akta kelahiran anak yang bersangkutan.[10]
Adapun yang dimaksud dengan “jihat” atau akta “minit” di sini adalah akta asli yang ada di dalam bundle akta Kantor Catatan Sipil, yang ditandatangani oleh yang melaporkan, para saksi dan Pejabat Kantor Catatan Sipil.
Contoh akta pengakuan anak :


PENGAKUAN ANAK
Nomor :
Pada hari ini, ………………………………………………………………………………………. menghadap kepada saya, …………………………………………………………, S.H., Notaris di …………………………/………………………….., dengan dihadiri oleh saksi-saksi, yang saya, Notaris, kenal dan nama-namanya akan disebutkan pada ------------------------------------------------ akhir akta ini : --------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Tuan A, ………………………………………………………………………………………..
2. Nona B, ………………………………………………………………………………………..
Para penghadap saya, Notaris, kenal ----------------------------------------------------------------------- Penghadap Tuan A dengan ini menyatakan mengakui anak -------------------------------------------- luar kawinnya, yang sesuai dengan laporan yang telah -------------------------------------------------- disampaikan pada tanggal ……………………………………………………….. Kepada Kantor Catatan Sipil di ……………………………………………………..., dilahirkan oleh penghadap Nyonya B, dalam laporan mana telah diberikan nama --------------------------------------------------- kecil X, sebagai anaknya. ------------------------------------------------------------------------------------ Penghadap Nyonya B menyatakan menyetujui pengakuan --------------------------------------------tersebut yang dilakukan oleh Tuan A. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Demikian akta ini ----------------------------------------------- Dibaut dan ……………………………………..

PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN
Nomor :
Pada hari ini, ……………………………………………………………………………………… menghadap kepada saya, ………………………………………………………, S.H., Notaris di …………………………………………………….., dengan dihadiri oleh saksi-saksi, yang saya, Notaris, kemal dan nama-namanya akan disebutkan pada ---------------------------------------------- akhir akat ini : -------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Tuan A, ………………………………………………………………………………………
2. Nona B, ………………………………………………………………………………………
Para pengahadap saya, Notaris, kenal. -------------------------------------------------------------------- Penghadap Tuan A menerangkan dengan ini mengakui ------------------------------------------------ sebagai anaknya, seorang anak laki-laki, yang lahir ---------------------------------------------------- di luar perkawinan dari penghadap Nona B tersebut ---------------------------------------------------- di atas, pada tanggal ………………………………………….., yang diberi ------------------------ nama kecil ………………………………………………………………..., kelahiran mana telah dilaporkan dan didaftar pada Kantor Catatan Sipil di -------------------------------------------------- ……………………, pada tanggal …………………………………………………...…, sebagai ternyata dan salinan akta kelahiran nomor …………………………………………...……, yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil tersebut di atas, ------------------------------------------------- tertanggal ………………………… : --------------------------------------------------------------------- Penghadap Nona B tersebut di atas dengan menyatakan menyetujui pengakuan anak …………………………………………….… tersebut di atas oleh Tuan A sebagai disebutkan di atas. ------------------------------------------------------------------------ ------------------------------------------- Demikianlah akta ini, --------------------------------------------
€Pembuktian kedudukan anak luar kawin yang diakui
Walaupun tidak ada ketentuan yang secara tegas mengatur hal itu, namun dari ketentuan Pasal 281 tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin harus membuktikan kedudukannya, melalui akta kelahirannya yang mengandung pengakuan, baik atas dasar pengakuan yang diberikan langsung pada saat kelahiran, ataupun melalui pengakuan yang dituangkan dalam akta notariil atau yang diberikan di hadapan Peagawai Catatan Sipil. Di samping itu, juga masih ada dasar lain, yaitu akta kelahiran yang mengandung pengakuan atas dasar keputusan Pengadilan berdasarkan Pasal 288 KUHPerdata. Jadi kewajiban pembuktian itu ada pada si anak luar kawin.
Suatu ketrentuan yang bersifat melindungi kepentingan si anak. Diberikan dalam pasal 281 ayat (4) KUHPerdata, yang menetapkan, bahswa :
“namun bagaimana tak bolehlah sesuatu kelalaian mencatatkan pengakuan itu diupersalahkan kepada anak yang diakui, untuk mempertengkarkan kedudukan yang diperolehnya.
Dapat diduga, bahwa masalah ini berkaitan dengan pengakuan yang dilakuan di dalam suatu akat otentik, walaupun tidak tertutup kemungkinan sekalipun kecil bahwa kelalaian itu terjadi pada pegawai Catatan Sipil. Hal itu berarti, bahwa kelalaian itu tidak mengurangi kedudukan anak yang bersangkutan sebagai anak luar kawin yang diakui.
Perkecualian
Terhadap prinsip pengakuan, pasal 283 KUHPerdata memberiukan perkecualian, dengan menetapkan bahwa :
“sekalian anak yang dibenihkan dalam zinah ataupun dalam sumbang, sekali-kali tidak boleh diakui, kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam Pasal 273”.
Jadi pada asasnya undang-undang melarang pengakuan anak zinah dan anak sumbang. Apakah pembenihan itu terjadi sepanjang perkawinan atau tidak, tidak relevan, sebab anak-anak seperti itu bias dibenihkan oleh mereka, yang salah satu pihaknya tidak terikat kepada perkawinan, sedang pada anak sumbang bahkan bias kedua-duanya, laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan, tidak terikat dalam perkawinan dengan siapapun. Patokan tersebut penting karena, anak zinah dan anak sumbang pada asasnya tidak bisa diakui secara sah, padahal tanpa pengakuan, anak-anak seperti itu pada asasnya bukan anak siapa-siapa
Yang memberikan pengakuan
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, yang berkepentingan untuk memberikan pengakuan terhadap anak luar kawin adalah baik ayah maupun ibunya.
Ibunya\
Walaupun sekarang pengakuan oleh ibunya kedengaran janggal, tetapi demikian itulah bunyi ketentuan KUHPerdata, yaitu seorang ibu perlu untuk mengakui anak luar kawinnya, agar ada hubungan hukum antara dirinya dengan anaknya.
Anak luar kawin bias dilahirkan oleh seorang perempuan, baik yang sudah dewasa maupun yang belum, sehubungan dengan masalah kedewasaan, yang berkaitan dengan masalah kecakapan bertindak[11] maka menjadi masalah, apakah seorang ibu yang belum dewasa bias mengakui secara sah anak luar kawin yang dilahirkan olehnya? Karena pengakuan anak luar kawin adalah tindakan yang bersifat sangat pribadi dan berkaitan erat sekali dengan diri pribadi yang bersangkutan. Menurut KUHPerdata memberikan jawabannya dengan menetapkan :
“:anak perempuan belum dewasa sementara itu, boleh melakukan pengakuan, pun kendati belum mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun”.
Dalam rangkaiannya dengan ayat sebelumnya mengatakan, bahwa :
“pengakuan terhadap anak luar kawin yang dilakukan seorang yang belum dewasa, adalah tanpa guna, kecuali si belum dewasa itu telah mencapai umur genap 19 (Sembilan belas) tahun dan pengakuan itu yang dilakukan pun bukan karena paksa, khilaf, tipu atau bujuk”.
Bapaknya
Karena anak luar kawin merupakan hasil hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak saling menikahi, maka hubungan itu bisa terjadi pada umur berapapun, sudah tentu pada saat keduanya sudah mampu untuk mengadakan hubungan badan dan membenihkan anak, oleh karena itu pengakuan anak merupakan tindakan hokum yang pada asasnya hanya dapat dilakukan secara sah oleh mereka yang sudah dewasa. Undang-undang secara tegas mensyaratkan batas umur dalam pasal 282 KUHPerdata. Jadi seorang laki-laki yang sudah mencapai umur genap 19 (Sembilan belas) tahun, dapat secara sah mengakui anak luar kawinnya.
Kesemuanya itu berkaitan dengan masalah akibat hukum yang luas dari tindakan pengakuan. Untuk tindakan hukum itu, diperlukan suatu kematangan pikiran, untuk bisa menyadari denganpenuh, akibat-akibat yang akan muncul dari tindakannya.

.

3. Pengakuan karena terpaksa
[1]Bandingkan dengan Pasal 3 Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
[2]Untuk mudahnya, mereka adalah anak-anak tidak sah, yang bukan anak zinah maupun anak sumbang.
[3]Untuk Negeri Belanda, dengan ditambahkannya Pasal 344 a dalam BW., maka bunyi Pasal 335 BW Belanda atau Pasal 280 KUHPerdata tidak cocok lagi, karena sekarang di Negeri Belanda tanpa Pengakuan pun bisa ada hubungan hokum kekayaan antara anak luar kawin dengan “bapaknya”, dalam wujud, kewajiban pemeliharaan sampai si anak dewasa. Karenanya, kata hubungan hokum dalam Pasal 335 Belanda diusulkan untuk diganti dengan “hubungan kekeluargaan”, baca Hofmann, hal 117
[4] Sebagaimana sudah dikatakan di depan, dalam perkembangan perkembangannya di Negeri Belanda maupun di Amerika Serikat, perbedaan antara anak sah dan anak luar kawin di dalam hukum sudah tidak sebesar seperti dulunya; Asser-deRuiter, hal 447. Kata Harry D Krause dalam halaman 153, “Today, constitutional law grants legal equality to the nonmarital (illegitimate)child”.

[5]Di dalam hukum adat kadang-kadang melalui suatu tindakan “pengesahan”, anak luar kawin mempunyai hubungan dengan ibunya sama dengan seorang anak sah. Katanya “Het kind staat no tot zijn ongehuwde moeder in gelijke verhouding als het tijdens huwelijk geboren mind”, demikian Ter Haar, hal 145.
[6] Hofmann, hal 111.
[7] J. Satrio, Hukum Pribadi, hal 111.
[8] J. Satrio, Hukum Waris, hal 180
[9] Pasal 41 C.S.E dan Pasal 55 C.S.T
[10] Pasal 53 C.S.E dan Pasal 65 C.S.T
[11] J Satrio, Hukum Pribadi, Buku I, Hal 48

Hukum Lelang

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal.
Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Prinsip ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.
Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.
Konsep politik semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa yang ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan tradidonal raja atau pemimpin adalah negara itu sendiri. Ia tidak mengenal pemisahan antara raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat saja menerima upeti dari bawahannya atau raja menggunakan kekuasaan atau kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya. Perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, kekuasaan politik yang ada di tangan raja bukan berasal dari rakyat dan ia rakyat sendiri menganggap wajar jika seorang raja memperoleh manfaat pribadi dari kekuasaannya tersebut.
Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagain pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri.
Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.
Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.















BAB II
PERMASALAHAN

A. Pengertian Lelang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dikeluarkan oleh Depdikbud, Penerbit Balai Pustaka :
Lelang adalah penjualan di hadapan orang banyak (dengan tawaran yang atas mengatas) dipimpin oleh Pejabat Lelang. Sedangkan yang dimaksud melelangkan atau memperlelangkan adalah :
1. Menjual dengan jalan lelang
2. Memberikan barang untuk dijual dengan cara lelang.
Dalam Kamus Hukum Bahasa Inggris :
Lelang adalah auction : ‘public sale at white goods are sold to the person making the highest bids or offers’ yang artinya penjualan di hadapan umum di mana barang-barang dijual kepada penawaran tertinggi.
Menurut Vendu reglement Stbld. 1908 No. 189 :
“Penjualan Umum adalah pelelangan atau penjualan barang-barang yang dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang menigkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu, atau diijinkan untuk ikut serta dan diberi kesempatan untuk menawar harga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul tertutup”.
Di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda lelang sudah diatur dalam Vendu Reglement yang sampai saat ini masih tetap dipergunakan sebagai dasar hukum lelang.
Buku Himpunan Surat Edaran dan Surat Keputusan mengenai Lelang terbitan Ditjen Pajak Departemen Keuangan dan Buku Peraturan dan Instruksi Lelang karangan Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH :
“Penjualan di muka umum adalah pelelangan dan penjualan barang yang diadakan di muka umum dengan penawaran harga yang makin meningkat, dengan persetujuan harga yang makin menurun atau dengan pendaftaran harga, atau di mana orang-orang yang diundang atau sebelumnya sudah diberitahu tentang pelelangan atau penjualan, kesempatan yang diberikan ke[ada prang-orang yang berlelang atau yang membeli untuk menawar harga, menyetujui harga atau mendaftarkan”.
Keputusan Menteri Keuangan No. 304/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang :
“Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat dan harus dilakukan dengan campur tangan/di hadapan/di depan Pejabat Lelang dan untuk setiap pelaksanaan lelang harus dibuat berita acara tersendiri (Risalah Lelang) oleh Pejabat Lelang yang melaksanakan lelang”.
Polderman dalam disertasinya tahun 1913 yang berjudul “Het Openbare Aan Bod” :
Penjualan umum adalah alat untuk mengadakan perjanjian atau persetujuan yang paling menguntungkan untuk si penjual dengan cara menghimpun para peminat. Ada tiga syarat lelang yaitu :
a. Penjualan harus selengkap mungkin
b. Ada kehendak mengikat diri
c. Pihak lainnya (pembeli) yang akan mnengadakan/melakukan perjanjian tidak dapat ditunjuk sebelumnya.
Roell, Kepala Inspeksi Lelang tahun 1932 :
“Penjualan umum adalah suatu rangkain kejadian yang terjadi antara saat mana seseorang hendak menjual suatu atau lebih dari suatu barang, baik secara pribadi maupun dengan perantaraan kuasanya, member kesempatan kepada orang-orang yang hadir melakukan penawaran untuk membeli barang-barang yang ditawarkan sampai kepada saat di mana kesempatan lenyap”.
MTG. Meulenberg, Ahli Lelang Belanda dari Deprtment of Marketing and Agricultural
Di dalam pasal 6 Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Di Indonesia lelang juga dibebani dengan fungsi public, yaitu :
1. Lelang dipakai untuk membantu melaksanakan law enforcement untuk menjual barang-barang sebagai pelaksanaan putusan/penetapan pengadilan, badan-badan, produk-produk hokum lain yang mempunyai wewenang eksekusi menurut Undang-Undang. Dengan itu berarti lelang mendukung badan-badan pemerintah dengan pelayanan penjualan barang yang mencerminkan keadilan, keamanan dan kepastian hokum.
2. Mendukung tertib administrasi dan efisiensi pengelolaan dan pengurusan asset yang dimiliki/dikuasai oleh Negara.
3. Mengumpulkan atau mengumumkan penerimaan Negara dalam bentuk Bea Lelang, Uang Miskin, Biaya Administrasi, PPh Pasal 25 dan BPHTB.
4. Mengamankan asset yang dimiliki/dikuasai oleh Negara.
5. Mendukung terwujudnya good government dengan adanya asas-asas dari lelang.
6. Fungsi budgeter.
Syarat lelang barang milik Negara/daerah :
1. Fotokopi SK Penunjukan Penjual
2. Syarat Lelang Penjual (apabila ada)
3. Daftar barang yang akan dilelang
4. SK Penghapusan dari Pejabat yang berwenang (Menteri, Kepala Lembaga, Gubernur/Kepala Daerah).
5. SK Pembentukan Panitia Lelang
6. Asli dan fotokopi Bukti kepemilikan/hak
7. Bukti Pengumuman Lelang.
Penjualan asset BUMN/BUMD harus dilaksanakan dengan proses yang cepat, aman, adil dan dengan harga jual yang paling menguntungkan bagi BUMN/BUMD. Oleh karena itu setiap pelaksanaan penjualan asset BUMN/D harus dilakukan dengan prosedur lelang melalui Kantor Lelang Negara. Namun ada pengecualiannya yaitu bias tanpa melalui Kantor Lelang asalkan BUMN/D tersebut berbentuk Persero.
Lelang BUMN/D adalah penjualan asset BUMN/D yang akan dihapuskan dari daftar aktiva. Yang dimaksud dengan asset di sini adalah aktiva tetap. Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang digunakan dalam operasi persuahaan dan tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan serta mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Aktiva tetao ini meliputi aktiva tetap bergerak maupun aktiva tetap tidak bergerak.
Syarat-syarat lelang barang-barang milik BUMN/D :
Surat permohonan yang harus dilengkapi dengan :
1. Salinan Surat Persetujuan Penjualan Barang/Surat Keputusan Penghapusan Barang dari Direksi berikut daftar barang dari BUMN/D.
2. Surat Keputusan Pembentukan Panitia Penjualan Lelang/Surat Penunjukan Pejabat Penjual oleh Direksi BUMN/D.
3. Bukti kepemilikan atas barang yang dilelang. Dalam hal barang yang dilelang berupa tanah diperlukan adanya SKPT dari Kantor Pertanahan.
4. Syarat-syarat lelang dari pemohon lelang (bila ada).
5. Bukti Pengumuman Lelang oleh pemohon lelang di Surat Kabar harian setempat.

Prosedur lelang :
1. Pemohon mengajukan permohonan lelang tertulis kepada Kantor Lelang Negara / Pejabat Lelang Kelas II dengan dilengkapi syarat-syarat di atas. Khusus Bank Pemerintah diperkenankan mengajukan permohonan lelang kepada Kantor Pejabat Lelang Kelas II :
a. Untuk barang yang umur ekonomisnya kurang dari 5 tahun dan ijin penghapusannya dari Dewan Komisaris diajukan kepada KP2LN setempat sesuai wilayah kerjanya.
b. Untuk barang yang umur ekonomisnya lebih dari 5 tahun dan ijin penghapusan/penjualannya dari Menteri Keuangan diajukan kepada KP2LN, kecuali untuk luar Jawa dapat diajukan kepada Pejabat Lelang Kelas II apabila KP2LN yang berhak melaksanakan lelang tersebut kekurangan tenaga teknis, terbatasnya dana anggaran atau kendala lain sehingga tidak dapat memberikan pelayanan jasa lelang tetapi harus dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah.
2. Kantor Lelang Negara/Kantor Pejabat Lelang Kelas II menetapkan tanggal dan waktu lelang dengan memperhatikan keinginan pemohon lelang.
3. Pemohon lelang menetapkan besarnya uang jaminan yang harus disetor calon peserta lelang ke Kantor Lelang dengan memperhatikan saran dari Kantor Lelang.
4. Pemohon lelang melaksanakan pengumuman lelang melalui surat kabar harian setmpat.
5. Pemohon lelang menetapkan harga limit dari barang yang akan dilelang. Harga limit sifatnya rahasia. Dalam hal penawaran secara tertulis dalam amplop tertutup, harga limit diserahkan kepada Pejabat Lelang dalamamplop tertutup sesaat sebelum pelaksanaan lelang.
6. Pelaksanaan lelang dilakukan oleh Pejabat Lelang bersama-sama dengan Pemohon lelang/Pejabat Penjual. Atas pelaksanaan lelang tersebut oleh Pejabat Lelang dibuat Berita Acara yaitu Risalah Lelang.
7. Pembayaran hasil lelang dilakukan secara tunai segera setalah pelaksanaan lelang kepada Pejabat Lelang yang dalam waktu 1x24 jam menyetorkannya kepada Bendahawaran Penerima KP2LN. Dalam waktu 7x24 jam hasil lelang segera disetorkan kepada Penjual oleh Bendaharawan KP2LN setelah dipotong Bea Lelang Penjual.
Lelang barang yang dikuasai/dimiliki Negara adalah lelang barang-barang milik Negara yang bersumber untuk seluruhnya atau sebagian dari APBN/APBD atau dana di luar APBN/APBD yang dikuasai dan di bawah pengurusan Pemerintah Pusat/Pemda, Lembaga-lembaga Negara, Lembaga pemerintah non departemen serta unit-unit di dalam lingkungannya, baik di dalam maupun di luar negeri. Pelelangan dilakukan atas permintaan dari Instansi Pemerintah baik dari instansi sipil maupun militer dan instansi pusat maupun daerah.
Terhadap barang-barang yang dikuasai/dimiliki oleh Negara apabila dilakukan penjualannya maka hasil penjualan tetap menjadi milik Negara. Sehubungan dengan itu maka penjualannya harus dilakukan dengan cara yang paling menguntungkan Negara yaitu dengan cara lelang. Penjualan secara lelang selain dilakukan dengan cepat, aman dan mewujudkan harga yang wajar sehingga dapat menjadi salah satu sumber penerimaan keuangan Negara, juga merupakan alat pengawasan terhadap asset-aset Negara sehingga dapat digunakan untuk menghindarkan kebocoran maupun pemborosan keuangan Negara. Di samping itu barang-barang milik pemerintah dibeli dari uang rakyat, maka sudah selayaknya kalau setiap WNI diberi hak untuk membelinya.
Penjualan atau pemindahtanganan barang-barang (benda bergerak maupun tidak bergerak) yang dimiliki/dikuasai Negara harus dilakukan dengan cara lelang melalui Kantor Lelang. Instansi yang wajib menjual barang secara lelang melalui Kantor Lelang adalah :
a. Semua Departemen/Lembaga/Badan Negara baik Pusat maupun Daerah termasuk Pemda.
b. Seluruh instansi ABRI
c. Semua Badan Usaha milik Pemerintah/semi Pemerintah/BUMN/BUMD.
Instansi-instansi tersebut apabila akan menghapuskan barang inventarisnya dari daftar inventaris setalah ada Surat Keputusan Penghapusan Barang dari pejabat yang berwenang harus mengajukan permohonan lelang ke KP2LN. Risalah Lelang atas pelaksanaan lelang tersebut menjadi dasar untuk menghapuskan barang inventaris tersebut.
Syarat-syarat lelang barang yang dimiliki/dikuasai Negara :
1. Surat Keputusan Penghapusan Barang dari Menteri atau Ketua Lembaga yang bersangkutan.
2. Surat Keputusan Pembentukan Panitia Penjualan Barang-barang yang akan dilelang.
3. Syarat-syarat lelang dari pemohon lelang (bila ada).
4. Bukti kepemilikan atas barang yang akan dilelang. Dalam hal barang yang dilelang berupa tanah diperlukan adanya SKPT dari Kantor Pertanahan.
5. Bukti Pengumuman Lelang oleh pemohon lelang di Surat Kabar harian setempat.

Prosedur lelang :
1. Instansi yang bersangkutan mengajukan permohonan lelang kepada Kantor Lelang Negara/Kantor Pejabat Lelang Kelas II setempat dilengkapi dengan syarat-syarat tersebut di atas.
2. Kantor Lelang Negara/Kantor Pejabat Lelang Kelas II menetapkan tanggal dan waktu lelang dengan memperhatikan keinginan pemohon lelang.
3. Instansi yang bersangkutan menetapkan besarnya uang jaminan yang harus disetor calon peserta lelang ke Kantor Lelang dengan memperhatikan saran dari Kantor Lelang.
4. Instansi yang bersangkutan melaksanakan pengumuman lelang melalui surat kabar harian setmpat.
5. Instansi yang bersangkutan menetapkan harga limit dari barang yang akan dilelang. Harga limit sifatnya rahasia. Dalam hal penawaran secara tertulis dalam amplop tertutup, harga limit diserahkan kepada Pejabat Lelang dalamamplop tertutup sesaat sebelum pelaksanaan lelang.
6. Pelaksanaan lelang dilakukan oleh Pejabat Lelang bersama-sama dengan Pemohon lelang/Pejabat Penjual. Atas pelaksanaan lelang tersebut oleh Pejabat Lelang dibuat Berita Acara yaitu Risalah Lelang.
7. Pembayaran hasil lelang dilakukan secara tunai segera setalah pelaksanaan lelang kepada Pejabat Lelang yang dalam waktu 1x24 jam menyetorkannya kepada Bendahawaran Penerima KP2LN. Dalam waktu 7x24 jam hasil lelang segera disetorkan kepada Penjual oleh Bendaharawan KP2LN setelah dipotong Bea Lelang Penjual.

Sifat lelang :
1. Ditinjau dari sudut sebab barang itu dijual :
a. Lelang Eksekusi : penjualan barang yang bersifat paksa. Biasanya dilakukan atas barang-barang milik tergugat atau debitur/penganggung hutang atau wajib pajak yang sebelumnya telah disita eksekusi atau karena perintah peraturan perundang-undangan. Lelang ini dilakukan dalam rangka melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atau atas perintah peraturan perundang-undangan.
b. Lelang Non Eksekusi : lelang barang milik/dikuasai Negara yang tidak diwajibkan dijual secara lelang apabila dipindahtangankan atau lelang sukarela atas barang milik swasta, tidak dalam rangka eksekusi/tidak bersifat paksa atas harta benda seseorang.
2. Ditinjau dari sudut penjual dalam hubungannya dengan barang yang akan dilelang :
a. Lelang yang sifatnya wajib : lelang yang dilaksanakan atas permintaan pihak yang menguasai/memiliki suatu barang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dijual secara lelang.
b. Lelang yang sifatnya sukarela : lelang yang dilaksanakan atas permintaan masyarakat/pengusaha yang secara sukarela menginginkan barangnya dilelang.
Visi DJPLN yaitu menjadi lembaga pemerintah terbaik dalam melakukan pengurusan piutang dan lelang Negara yang professional, bertanggung jawab dan dibanggakan masyarakat.
Misi DJPLN :
1. Misi fiscal yaitu mengamankan keuangan Negara.
2. Misi social budaya yaitu meningkatkan kepatuhan/kesadaran para pengguna jasa DJPLN yang disesuaikan dengan kondisi social budaya setempat.
3. Misi kelembagaan yaitu memberikan pelayanan kepada pengguna jasa secara efektif dan efisien.
Maksud dan tujuan penggalian potensi lelang :
1. Meningkatkan potensi lelang yang selama ini telah dilakukan dan mencari/menggali sumber-sumber/potensi lelang yang baru.
2. Dengan tujuan meningkatkan penerimaan Negara.
3. Memberikan pengertian yang sama dan berlaku umum tentang arti pentingnya jasa lelang oleh KP2LN atau Pejabat lelang Kelas II.
4. Mengartahkan atau menghimbau agar dapat mengerti tentang langkah-langkah yang perlu diambil dalam penggalian potensi lkelang.
5. Menjelaskan kepada masyarakat atau pengguna jasa lelang tentang landasan hokum bagi perencana dan program penghapusan dalam suatu system yang baku/standar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Melalui penggalian potensi lelang ini diharapkan peningkatan daya guna dan hasil guna yang lebih optimal dalam pengelolaan barang milik/kekayaan Negara, BUMN/BUMD, Pemerintah Pusat/Daerah maupun swasta serta pengguna jasa lelang lainnya.
Asas-asas yang mendasari lelang :
1. Transparancey / Publicity/Keterbukaan
Merupakan asas utama dan menjadi landasan dari lelang. Lelang tidak disembunyikan, diketahui oleh umum, dikontrol masyarakat. Asas transparansi dalam lelang definisinya adalah lelang merupakan penjualan di depan public dan harus diumumkan di depan public. Lelang pada dasarnya terbuka untuk umum, artinya terbuka dalam pelaksanaan maupun dalam penawaran barang dan langsung bias dikontrol oleh masyarakat. Asas ini menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui adanya rencana lelang dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang oleh Undang-Undang. Wujud dari transparansi dimaksudkan sebagai suatu upaya marketing sehingga masyarakat tahu bahwa ada lelang dan dipersilahkan untuk dating bila berminat. Maksud dari pengumuman lelang adalah :
a. Supaya masyarakat tahu akan adanya lelang maka harus dipublikasikan/diumumkan.
b. Agar barang cepat terjual
c. Agar masyarakat tertarik untuk mengikuti lelang
d. Sebagai system control dari lelang karena lelang tujuannya untuk memberikan perlindungan/kepastian kepada masyarakat/pembeli mengenai obyek lelang.
e. Tidak memberikan kesempatan adanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Asas transparansi memiliki implikasi dalam lelang yaitu :
a. Bahwa lelang harus diumumkan lebih dahulu sesuai dengan ketentuan melalui surat kabar harian.
b. Karena merupakan suatu usaha marketing, di sini harus ada akses informasi untuk mendukung pengumuman yang dilakukan. Akses informasi yang diperlukan oleh orang yang membaca pengumuman harus mudah dicari, seimbang dan adil. Maksudnya akses tersebut tidak boleh hanya dibuka bila menguntungkan saja. Yang memberikan akses informasi adalah si penjual dan pejabat lelang.
c. Diperlukan satu forum sebagai dukungan asas ini di mana penjual dan Kantor Lelang aktif memberikan informasi dan penjelasan serta berdialog dengan peminat lelang. Forum ini disebut anwijzig.
d. Sebagai implikasinya perlu adanya view intime yaitu kesempatan bagi para peserta lelang untuk melihat-lihat barang yang akan dilelang.
e. Lelang harus menerapkan prinsip no barrier entry artinya bahwa semua orang boleh mengikuti sepanjang memenuhi syarat. Maka dari itu lelang sering disebut democracy in commerce.
f. Pengumuman kepada public gunanya :
- Upaya marketing
- Pengamanan lelang karena memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menggugat ke Kantor Lelang dan menyelesaikan masalah bila ada terkait dengan barang yang akan dilelang.
2. Certainty
Artinya ada kepastian pelaksanaan lelang karena sudah diumumkan terlebih dahulu. Asas ini merupakan kepastian hokum dari lelang karena lelang dipimpin oleh pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah. Semua prosedur-prosedur diatur dengan Undang-Undang dan pelaksanaan lelang dilakukan oleh Kantor Lelang dan dipimpin oleh Pejabat Lelang. Setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik. Selain itu lelang hanya bisa dibatalkan melalui putusan/penetapan pengadilan/permintaan penjual (Pasal 9 ayat 1 KMK No. 340/KMK.01/2002).
3. Competition
Unsur ini adalah unsure yang fundamental. Kompetisi adalah salah satu cara pembentukan harga. Di dalamnya ada persaingan antara para peserta lelang dalam mengajukan harga untuk mendapatkan barang yang dilakukan secara lisan, siapa yang berani menawar tertinggi dan sudah melewati harga limit, maka dialah pemenangnya. Dengan demikian tidak ada kemungkinan bahwa lelang sudah diketahui sejak awal hasilnya.
4. Eficiency
Lelang itu harus dialksanakan dengan efisien, cepat dan biaya murah. Tidak usah ada perantara. Pembeli datang sendiri ke satu tempat yang telah ditentukan untuk pelaksanaan lelang, pada hari itu juga dicapai kesepakatan harganya dan pembayarannya bersifat tunai. Lelang tidak perlu negosiasi dan telah diumumkan secara luas serta pejabat lelang telah membantu meneliti data yuridis dan fisik barang yang akan dilelang, maka akan lebih efisien. Akta Risalah Lelang diserahkan maksimal 6 hari kerja setelah lelang.
5. Accountability
Pelaksanaan lelang dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang berkepentingan karena yang menjual adalah Kantor Lelang Negara, dipimpin oleh Pejabat Lelang dan prosedurnya sudah diatur Undang-Undang, kepada pelaksanaannya diberi bukti otentik berupa akta risalah lelang. Pertanggungjawaban Pejabat Lelang meliputi administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.
6. Keadilan
Dalam proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini untuk mencegah keberpihakan Penjual kepada Peserta lelang tertentu atau berpihak hanya pada kepentingannya. Khusus pada pelaksanaan lelang eksekusi penjual tidak boleh menentukan nilai limit secara sewenang-wenang yang berakibat merugikan pihak tereksekusi.






















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Visi DJPLN yaitu menjadi lembaga pemerintah terbaik dalam melakukan pengurusan piutang dan lelang Negara yang professional, bertanggung jawab dan dibanggakan masyarakat.
Misi DJPLN :
1. Misi fiscal yaitu mengamankan keuangan Negara.
2. Misi social budaya yaitu meningkatkan kepatuhan/kesadaran para pengguna jasa DJPLN yang disesuaikan dengan kondisi social budaya setempat.
3. Misi kelembagaan yaitu memberikan pelayanan kepada pengguna jasa secara efektif dan efisien.
Lelang barang yang dikuasai/dimiliki Negara adalah lelang barang-barang milik Negara yang bersumber untuk seluruhnya atau sebagian dari APBN/APBD atau dana di luar APBN/APBD yang dikuasai dan di bawah pengurusan Pemerintah Pusat/Pemda, Lembaga-lembaga Negara, Lembaga pemerintah non departemen serta unit-unit di dalam lingkungannya, baik di dalam maupun di luar negeri. Pelelangan dilakukan atas permintaan dari Instansi Pemerintah baik dari instansi sipil maupun militer dan instansi pusat maupun daerah.
Terhadap barang-barang yang dikuasai/dimiliki oleh Negara apabila dilakukan penjualannya maka hasil penjualan tetap menjadi milik Negara. Sehubungan dengan itu maka penjualannya harus dilakukan dengan cara yang paling menguntungkan Negara yaitu dengan cara lelang.
Penjualan secara lelang selain dilakukan dengan cepat, aman dan mewujudkan harga yang wajar sehingga dapat menjadi salah satu sumber penerimaan keuangan Negara, juga merupakan alat pengawasan terhadap asset-aset Negara sehingga dapat digunakan untuk menghindarkan kebocoran maupun pemborosan keuangan Negara. Di samping itu barang-barang milik pemerintah dibeli dari uang rakyat, maka sudah selayaknya kalau setiap WNI diberi hak untuk membelinya.

Perbankan

Untuk menunjang tercapainya suatu keberhasilan pembangunan yang bertumpu pada pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat serta dinamis, maka dipandang perlu peran aktif masyarakat pada umumnya dan peran aktif dunia perbankan pada khususnya untuk mendanai pembangunan, mengingat dana pembangunan dari pemerintah sangat terbatas akibat menurunnya penerimaan Negara diberbagai sector akibat krisis moneter/ ekonomi
Untuk itu, diperlukan sebuah system perbaikan yang sehat dan kuat, tangguh dan dapat memelihara kepercayaan masyarakat, hal mana merupakan suatu kebutuhan yang tidak bias diabaikan, mengingat lembaga perbankan berperan strategis dalam rangka pembangunan nasional. Peran tersebut terlihat terutama pada bank sebagai lembaga pembiayaan utama dalam rangka pembangunan serta penyedia jasa sirkulasi keuangan dan sebagai pendukung utama jalanya pembangunan. Berbagai kebijakan sector keuangan dunia perbankan akan berpengaruh dengan kegiatan pembangunan ekonomi, misalnya kebijakan menaikkan suku bunga pinjaman akan mempersulit pengusaha sector riil yang mengandalkan usahanya dari dana pinjaman perbankan.
Seiring dengan berjalannya waktu telah terjadi perubahan-perubahan yang cepat dan cukup mendasar baik dalam perekonomian nasional maupun dunia internasional. Perubahan-perubahan paradigm yang terjadi dalam iklim politik dan perekonomian nasional tersebut mengakibatkan semakin kompleksnya tantangan-tantangan yang dihadapi oleh dunia perbankan. Deregulasi sector perbankan nasional yang memacu pertumbuhan secara kuantitas institusi perbankan, kurang diikuti dengan regulasi dan pengawasan yang ketat. Keadaan yang demikian diperparah oleh kalangan banker yang kurang menjaga asas kehati-hatian dalam menjalankan usahanya, yang mengakibatkan lemahnya kualitas usaha perbankan.
Akhir-akhir ini bank sebagai sebuah lembaga penyalur kredit banyak dilanda kredit bermasalah khususnya kredit macet. Agar lembaga perbankan dapat terhindar dari kredit bermasalah, maka sebaiknya penyaluran kredit oleh pihak perbankan harus sangat hati-hati dan selektif. Hal ini sesuai dengan Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian bank harus dipegang teguh dan kegiatan usaha bank perlu lebih disempurnakan[1] .
Seorang pejabat bank mempunyai kebijakan / kewenangan dalam memberikan kucuran kredit kepada kreditur dengan berbagai pertimbangan. Pemberian kredit, misalnya 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condirion of Economy) merupakan pertimbangan yang mutlak diperhatikan. Jika dikemudian hari ternyata kredit tersebut macet, maka yang patut dipertanyakan yaitu apa yang menjadi penyebab sehingga debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Dalam berbagai kasus, penyebabnya yaitu karena usaha yang dibiayai dengan dana bank tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ada yang karena kelalaian pejabat bank yang bersangkutan dalam prosedur pemberian kredittersebut disalahgunakan penggunanya.
Kebutuhan pembiayaan dan peranan perbankan benar-benar sangat diperlukan. Hal ini dapat dilihat dengan mulainya lagi pembangunan berskala besar yang beberapa tahun lampau mulai dikurangi.
Perbankan diharapkan menjadi sumber pembiayaan, sejalan dengan ketentuan Undang_undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dimana perbankan diartikan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakatdalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam meningkatnya taraf hidup rakyat banyak. Karena itu, perbankan mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat pentin g dalam menunjang terlaksananya kepentingan pembangunan.
Sebagai salah satu usaha pokok perbankan, maka pemberian kredit merupakan prioritas utama. Kredit di sini berupa penyediaan dana atau uang tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak lain / pihak peminjam untuk melunasi setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga imbalan / pembagian hasil keuntungan. Hal ini berdasarkan pada ketentuan pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kredit adalah :
“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka tertentu dengan pemberian bunga”.
Kemampuan teknologi dan social ekonomi senantiasa berkembang dan akan memberikan dampak terhadap peningkatan di berbagai bidang pembangunan. Intensitas kegiatan pembangunan tersebut menyebabkan kalangan dunia usaha mencari alternative sumber dana guna membiayai proyek-proyeknya dan untuk mengantisipasi perkembangan yang ada. Di kalangan perbankan telah diupayakan bentuk-bentuk pembiayaan baru agar pertumbuhan dunia usaha dapat terus di pacu. Sasarannya antara lain mencakup penyediaan dana dalam jumlah besar, jangka waktu pengembalian kredit yang relative panjang dan suku bunga yang kompetitif serta sebagai alat untuk mengakses ke pasar modal, baik domestic maupun internasional. Salah satu alternatifnya yaitu dalam bentuk kredit sindikasi dengan pertimbangan bahwa pemberian pinjaman dalam jumlah besar akan membawa risiko yang besar pula, sedangkan apabila melalui sindikasi beban risiko dapat ditanggung bersama sesuai dengan besarnya keikutsertaan masing-masing bank.
Selain dari kemungkinan yang menyangkut keterbatasan suatu bank untuk memberikan dukungan dana yang besar,
[1] Tri Joko, “Perbuatan Melawan Hukum dalam Kebijakan Pemberian Kredit Macet pada Bank Pemerintah”, dalam Varia Peradilan No. 267, Tahun ke XXII, Agustus 2007, Hal 63.

Peraturan Jabatan Notaris

Di tanah air kita, notariat sudah dikenal semenjak belanda menjajah Indonesi, karena notariat adalah suatu lembaga yang sudah lembaga yang sudah dikenal dalam kehidupan mereka di tanah airnya sendiri. Tetapi lembaga ini terutama diperuntukan bagi mereka sendiri dan bagi mereka yang baik karena undang-undang maupun karena suatu ketentuan dinyatakan tunduk pada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa dalam bidang Hukum Perdata, yaitu Burgerlijk Wetbook (BW) atau sekarang umumnya disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.[1]
Notaris yang dalam profesi sesungguhya merupakan instansi yang dengan akta-aktanya menimbulkan alat-alat pembuktian tertulis dan mempunyai sifat otentik, dapat berbuat banyak untuk mendorong masyarakat guna mempergunakan alat-alat pembuktian tertulis. Dalam hal ini, notaris harus aktif dalam pekerjaannya dan bersedia ditempatkan dimanapun juga, sekalipun di desa untuk melayani klien yang membutuhkan jasanya.
Di Indonesia notaris dibekali dengan pengetahuan hukum yang mendalam, karena mereka tidak hanya berkewajiban mengesahkan tanda tangan belaka, melainkan menyusun aktanya dan memberikan pendapat hukumnya dimana perlu, sebelum suatu akta dibuat. Oleh karena itu di Indonesia, notaris dapat memberikan banyak sumbangan yang penting untuk perkembangan notariat dan hukum nasional.
Peran notaris sangat diperlukan dalam upaya memecahkan permasalahan pembangunan yang makin meningkat, terutama yang berkaitan dengan kepastian hukum. Kontribasi tersebut dapat diberikan dalam konteks penegakan hokum dalam kehidupan bermasyarakat dan membangun pemerintahan yang berkeadilan dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Seorang notaris selain dituntut harus professional di bidangnya, juga harus bersikap tidak memihak dan membedakan kliennya, serta peka dalam menyikapi berbagai perkembangan dalam masyarakat. Dengan bertambahnya jumlah notaris maka bertambah keras pula persaingan di antara para notaris dalam menjaring klien. Namun demikian, hendaknya dalam menyikapi persaingan ini tetap mengedepankan kepentingan publik, dan tidak hanya mengejar keuntungan pribadi.
Lajunya perkembangan pembangunan dan bertambahnya penduduk tidak dapat dihindari akan membawa pengaruh yang berkaitan dengan permasalahan hukum, misalnya dalam bidang bidang pertanahan. Oleh karena itu bagi seorang notaris, dalam penerbitan akta tanah, sering lalai mengecek keabsahan pengurusan akta tanah. Padahal, bukan tidak mungkin pengurusan akta tanah tersebut menyimpang dari ketentuan peraturan.
Chek dan recheck memungkinkan dapat dihindari munculnya permasalahan setelah terbitnya akta tanah. Disinilah peran aktif seorang notaris, jangan hanya melihat keuntungan yang akan diperoleh. Seorang notaris diharapkan ikut tergugah menyadarkan warga masyarakat yang memang buta hukum dan bukannya justru memanfaatkan ketidak-tahuan masyarakat untuk meraih keuntungan.[2]
Seiring dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, saat ini pelanggaran hukum pun semakin meningkat, baik individual maupun kolektif. Pelanggaran hukum tersebut dapat menimbulkan kerugian baik perusahaan maupun karyawan, Negara, masyarakat, konsumen, pemegang sahan maupun penegak hukum.
Lebih spesifik lagi nampaknya orang kurang menaruh perhatian pada pelanggaran hukum dilingkungan professional, seperti dokter, akuntan, advokat, insinyur, khususnya notaries. Pelanggaran ini dapat dilakukan karena kealpaaan, kesengajaan, dan bisa juga berupa pelanggaran hukum administratif serta hukum disiplin profesi, seperti pelanggaran kode etik maupun yang ditegakkan oleh Negara, seperti Peraturan Jabatan Notaris. Seringkali indikator tersebut bersifat kombinasi satu sama lain.
Jika didasarkan kepada kenyataan, bahwa telah mempunyai perundang-undangan dibidang notariat yakni “Peraturan Jabatan Notaris” (Notaris Reglement – Stbl. 1860 – 3), yang sekarang ini telah berumur kurang lebih 120 tahun, sebagai pengganti dari “instructive voor notarissen in Indonesia” (Stbl.1822 – 11) dan bahkan jauh sebelumnya, yakni dalam tahun 1620 telah diangkat notaries pertama di Indonesia, seharusnya lembaga notariat ini telah dikenal dan meluas sampai ke kota-kota kecil dan bahkan ke desa-desa. Namun keadaannya tidaklah sedemikian, sehingga timbul pertanyaan, apa yang menjadi sebab tidak dikenalnya lembaga notariat ini secara meluasnya.
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kurang meluasnya dikenal lembaga ini, salah satu faktor diantaranya ialah, bahwa sebelum Perang Dunia II hampir seluruh notaris yang ada di Indonesia pada waktu itu adalah berkebangsaan Belanda, sedang jumlah notaris yang berkebangsaan Indonesia sangat jumlahnya. Pada waktu itu lembaga notariat seolah-olah dimonopoli oleh orang-orang Belanda. Lagi pula pada umumnya mereka mempunyai tempat kedudukan di kota-besar besar, sehingga mudah dimengerti bahwa hubungan mereka dapat dikatakan hanya dengan orang-orang Eropa, Cina, Timur Asing dan bangsa asing lainnya, yang biasanya bermukin di kota-kota besar pula serta sebagian kecil orang-orang Indonesia, yang terbatas pada golongan tertentu dalam masyarakat.
Faktor lain yang tidak kurang pentingnya ialah, bahwa masuknya lembaga notariat di Indonesia ialah pada saat, dimana tingkat kesadaran dan budaya hukum dari masyarakat bangsa Indonseia pada waktu itu, suatu masyarakat yang bersifat primordial, yang masih berpegang teguh pada hukum adatnya dan kaedah-kaedah reiligius, masih rendah dan sempit, lebih-lebih lagi dimana para pengasuh dari lembaga notariat itu lebih menitik beratkan orientasinya pada hokum barat, semuanya itu merupakan faktor-faktor penghambat dan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan dan untuk dikenalnya lembaga notariat ini dengan cepat dan secara luas di kalangan masyarakat yang justru harus dilayani.
Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai “notariat” ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi diantara mereka; suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar gezag) untuk dimana dan apabila undang-undang menghasruskanm demikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membeuat alat bukti tertulisyang mempunyai kekuatan otantik.
Sejarah dari lembaga notariat dimuai pada abad ke-11 atau ke-12 di daeraaah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada amain it Italila Utara, yang merupakan nama lo? Latijnse Notariaat” dan yang data-tabda juga), Mechior Kerchem, sekretaris dari College van Schepenen” di jacatra, diangkat sebagai notaries pertama di Indonesia.
Dipergunakan perkataan “bevoegd” (berwenang) dalam pasal 1 PJN diperlukan berhubungan dengan ketentuan dalam pasal 1868 KUHPerdata yang mengatakan :
“suatu akta otentik adalah sedemikian, yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya”.
Untuk pelaksanaan dari pasal 1868 KUHPerdata tersebut, pembuat undang-undang harus membuat peraturan perundang-undangan untuk menunjuk para pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan oleh karena itulah para notaries ditunjuk sebagai pejabat yang sedemikian berdasarkan pasal 1 PJN.
Di dalam PJN ditentukan, bahwa notaries berwenang untuk membuat akta mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik. Dari bunyi pasal tersebut, bahwa wewenang notaris adalah “regel” (bersifat umum).
1. Pengertian Akta
ketentuan dalam pasal 1868 KUHPerdata yang mengatakan :
“suatu akta otentik adalah sedemikian, yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya”.

[1] R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hal 1.
[2]Gerard da Silva, Majalah Ombudsman, “ Aksi Mafia Notaris”. Edisi No.76/Th.VI/Maret 2006