Selasa, 05 Mei 2009

Hukum Keluarga dan Perkawinan

Sekalipun dalam KUHPerdata, pengakuan luar kawin (bagian ketiga), namun karena pada umumnya orang mengakui anak luar kawin lebih sebelum mengesahkannya. Pembagian dalam 3 (tiga) kelompok adalah sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 283 KUHPerdata, dan khususnya penyebutan “anak luar kawin” untuk kelompok yang ketiga adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pembagian tersebut dilakukan karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-semdiri) atas status anak-anak seperti tersebut diatas. Sekalipun anak dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah tetapi dalam perbandingan dalam pasal 283 KUHPerdata bahwa anak luar kawin (menurut Pasal 280) di satu pihak, dengan anak zinah dan anak sumbang (pasal 283) di lain pihak, adalah berbeda.
Berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengn Pasal 273 KUHPerdata bahwa anak zinah berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalam keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian ini diberikan untuk anak zinah.
Perbedaan antara luar kawin dengan anak zinah terletak pada saat pembuahan, atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan yaitu, apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan.
Kalau seorang ibu, pada waktu tidak dalam ikatan perkawinan, mengadakan hubungan dengan seorang laki-laki, dan membuahkan seorang anak, tetapi sebelum kelahhiran anak itu, jadi dalam keadaan mengandung si ibu menikah dengan seorang lelaki lain daripada laki-laki yang membuahi janin yang dikandungnya maka anak itu, yang nantinya ternyata lahir sepanjang perkawinan yang sah dari si ibu dan suaminya, adalah anak sah dari ibu yang melahirkan anak itu dan memperoleh suami si ibu sebagai ayahnya (Pasal 250 KUHPerdata jo Pasal 42 UUP). Dalam kasus sesudah menghamili si perempuan, lalu lelaki itu menikah dengan ibu dari perempuan yang dihamili si perempuan, lalu lelaki itu menikah dengan ibu dari perempuan yang dihamili itu, maka anak itu, kalau kemudian ia lahir hidup, bukan anak sumbang sekalipun anak itu dibersihkan pada saat belum ada ikatan perkawinan dengan ibu dari perempuan yang melahirkan anak itu.
Sebaliknya adalah, kalau seorang perempuan mengadakan hubungan dengan lelaki lain daripada suaminya, dan anak hasil hubungan itu lahir sepanjang perkawinan perempuan itu dengan suaminya, tetapi suaminya, tetapi suami dari perempuan yang melahirkan anak itu, bias membuktikan bahwa ia bukan ayah anak tersebut (pasal 252 KUHPerdata), maka anak itu tetap merupakan anak zinah.
Patokannya untuk menetapkan seorang anak adalah anak zinah atau anak sumbang, adalah saat anak itu dibenihkan, bukan saat kelahiran.
Perumusan
Yang dimaksud dengn anak-anak yang tidak dilahirkan di dalam atau sebagai dari suatu perkawinan yang sah, tafsirkan secara a coitrario dari Pasal 250 KUHPerdata dan pasal 42 UUP. Adapun apa yang dimaksud dengan dilahirkan “sepanjang perkawinan” dan “sebagai akibat dari perkawinan”.
Anak zinah adalah anak-anak, yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dimana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain.
Di dalam KUHPerdata menganut asas perkawinan monogamy secara konsekuensi, sehingga tidak mungkin seorang laki-laki pada saat yang sama, mempunyai 2 (dua) orang istri yang sama-sama sah (pasal 27 KUHPerdata).[1]
Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang, ada larangan untuk saling menikahi (pasal 31 KUHPerdata).
Undang-undang melarang perkawinan antara mereka yang mempunyai kecekatan hubungan darah atau semenda. Mereka-mereka yang adalah keluarga sedarah atau semenda sampai derajat tertentu, undang-undang memberikan perkecualian (Pasal 31 ayat (2) KUHPerdata).
Anak luar kawin yang juga disebut anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan denagn orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi.[2] (anak-anak yang demikian yang bias diakui secara sah oleh ayahnya).
Akibat hokum perbedaan kedudukan anak (uu no 1/74)
Adanya ketentuan pasal 43 UUP :

Walaupun harus diakui bahwa belum ada peraturan pelaksanaan lebih lanjut atas ketentuan itu, dan petunjuk MA melalui Surat No. MA/Pemb/0807/75 tertanggal 20 Agustus 1975 juga menyatakan, bahwa mengenai “kedudukan anak” masih berlaku ketentuan-ketentuan lama. Namun demikian, sebagai suatu asas, kiranya Pasal Pasal 43 UUP perlu kita perhatikan.
Anak sah dan anak luar kawin
Yang membedakan antara antara anak sah dengan anak luar kawin adalah apa yang disebut dalam Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan, bahwa :
“Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya”.[3]
Hal itu berarti, bahwa antara anak luar kawin dengan “ayah” (biologisnya) maupun “ibunya” pada asasnya tidak ada hubungan hokum. Hubungan hokum itu baru ada, kalau “ayah” dan / atau “ibunya” memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian tanpa pengakuan dari ayah dan/atau ibunya, pada asanya anak itu bukan anak siapa-siapa; ia tidak mempunyai hubungan dengan siapapun.
Ini berbeda dengan anak sah, yang walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang, tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada, ditafsirkan demi hokum mempunyai hubungan hokum dengan orang tuanya.
Demi hukum di sini dimaksudkan, bahwa hubungan hokum dengan orang tuanya terjadi secara otomatis, dengan sendirinya, tanpa yang bersangkutan harus berbuat apa-apa.
Dapat disimpulkan bahwa hubungan hokum antara orang tua dengan anaknya yang sah, didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya, tetapi bila dihubungkan dengan anak luar kawin, maka hubungan hokum antara anak luar kawin dengan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan.
Disamping perbedaan-perbedaan lain inilah (demi hokum adanya hubungan hokum dengan ayah dan ibunya) cirri utama yang membedakan antara anak sah dengan anak luar kawin.
Kedudukan anak luar kawin di dalam hokum ternyata adalah inferieur (lebih jelek / rendah) disbanding dengan anak sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orang tua (Pasal 299 KUHPerdata), sedangkan anak luar kawin berada di dalam perwalian (Pasal 306 KUHPerdata). Hak bagian anak sah dalam pewarisan orang tuanya, lebih besar daripada anak luar kawin (Pasal 863 KUHPerdata) dan hak anak luar kawin untuk menikmati warisan melalui surat wasiat, dibatasi (Pasal 908 KUHPerdata).[4]
Di samping pembedaan antara anak luar kawin dengan anak sah seperti tersebut di atas, di antara para anak luar kawin sendiri masih dibedakan lagi antara anak luar kawin yang diakui secara sah dan anak luar kawin yang tidak diakui.
Pengakuan anak luar kawin membawa bermacam-macam konsekuensi dalam hukum :
Posisi anak luar kawin yang disebutkan di atas adalah pandangan hukum, yang tidak selalu dengan kenyataan yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataannya, anak luar kawin banyak yang diterima dan diperlakukan sama dengan seorang anak sah dalam keluarga yang bersangkutan.[5] Hal itu merupakan tanda, bahwa lembaga perkawinan bukan merupakan lembaga yang memang ada menurut alamnya, melainkan merupakan lembaga yang diciptakan oleh undang-undang, padahal keabsahan seorang anak didasarkan atas adanya suatu perkawinan yang sah.[6]

Setiap orang paling tidak sekarang yang mendengar prinsip, bahwa anak luar kawin baru mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, kalau si ibu mengakui anak tersebut, pasti merasakan ada sesuatu yang janggal. Seorang ibu harus mengakui anaknya lebih dahulu, baru ada hubungan hukum, padahal demikian itulah prinsip yang diletakan dalam pelaksanaanya memang tidak bisa dipertahankan secara konsekuen. Pasal 5a KUHPerdata mengatakan:
“bahwa anak tidak sah, yang tidak diakui oleh bapaknya, memakai nama keturunan ibunya”.[7]
Karena ketentuan tersebut bersifat umum tidak terbatas pada anak yang diakui oleh ibunya, adalah bahwa anak tidak sah, baik yang diakui oleh ibunya maupun yang tidak, demi hukum memakai nama keluarga ibunya.
Menurut pasal 288 KUHPerdata, orang diperbolehkan untuk menyelidiki, siapa ibu seorang anak. Kalau orang telah membuktikan siapa ibu seorang anak, logisnya bahwa dengan pembuktian itu, timbul hubungan antara si ibu dengan anak itu, maka disini ada semacam pengakuan, tetapi yang dipaksakan. Hal itu berarti, bahwa bias timbul suatu suatu hubungan hokum antara seorang ibu dengan anaknya, tanpa melalui suatu pengakuan setidaknya-tidaknya, kalau yang kita sebut sebagai “pengakuan” adalah pengakuan yang diberikan secara sukarela yaitu melalui sarana pasal 288 KUHPerdata, yang juga disebut sebagai pengakuan yang dipaksakan
Orang membedakan pengakuan anak luar kawin dalam 2 (dua) kelompok :
1. Pengakuan secara sukarela
Pengakuan anak secara sukarela dalam doktrin dirumuskan sebagai suatu pernyataan, yang mengadung pengakuan, bahwa yang bersangkutan adalah ayah atau ibu dari anak luar kawin yang diakui olehnya.
Pada umumnya pengakuan diberikan kepada anak yang sudah dilahirkan, namun demikian, dengan mendasarkan kepada pasal 2 KUHPerdata, tidak tertutup kemungkinan untuk mengakui anak yang belum dilahirkan.
Pasal 2 merupakan suatu ketentuan umum. Dalam pasal 279 KUHPerdata harus dipenuhi syarat, bahwa anak yang sudaah mati, yang mau diakui.
Bahwa ada kemungkinan ada kebutuhan seperti, kalau anak yang akan diakui itu mati lebih dahulu dari orang yang akan mengakuinya, padahal anak itu meninggalkan keturunan sah. Kalau anak yang mati bias diakui secara sah, amak ada hubungan hokum antara orang yang mengakui dengan anak yang mati itu, dengan konsekuensinya, keturunan sah dari simati, bias menggantikan tempat si mati mewaris orang yang mengakui si mati (Pasal 868 KUHPerdata)
Kiranya mengakui anak yang sudah mati bias dibenarkan kalau memang ada kepentingan untuk itu.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa akibat hokum dariapada suatu pengakuan adalah munculnya hubungan hokum yang terbatas, yaitu hanya antara yang mengakui dan yang diakui saja, tidak dengan keluarga anak luat kawin yang diakui maupun keluarga pihak yang mengakuinya.
Hal itu dapat disimpulkan dari bunyi pasal 280, ini perlu dikemukakan karena dalam perkembangannya hubungan hokum antara seoranga anak yang lahir di luar perkawinan dengan ibunya terjadi demi hukum (pasal 43 UUP), bahkan dengan seluruh keluarga ibunya.
Pasal 281 KUHPerdata memberikan pengaturan mengenai, bagaimana pengakuan secara sukarela itu diberikan, dengan mengatakan :
“pengakuan terhadap seorang anak luar kawin, apabila yang demikian itu tidak telah dilakukan di dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan tiap akta otentik.
Ada 3 (tiga) untuk mengakui anak luar kawin secara sukarela, yaitu :
- Di dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan
- Di dalam akta perkawinan
- Di dalam akta otentik
Karena pengakuan itu baru sah, kalau diberikan di hadapan seorang Notaris atau Pegawai Catatan Sipil (bias dalam surat lahir; akta perkawinan maupun akta tersendiri), padahal keduanya adalah Pejabat Umum, yang memang diberikan kewenangan khusus untuk membuat akta-akta seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa pengakuan anak luar kawin harus diberikan dalam suatu akta otentik.
Karena tidak disyaratkan, bahwa akta otentik yang bersangkutan (yang dibaut dihadapan notaries) harus semata-mata memuat pengakuan anak luar kawin, maka pengakuan juga dapatdiberikan di dalam suatu wasiat umum, yang dibuat di hadapan seorang Notaris. Secara tegas disebutkan wasiat umum, karena wasiat olographisch dibaut dibawah tangan dan karenanya tidak memenuhi syarat Pasal 281 KUHPerdata.
Karena wasiat merupakan tindakan hokum sepihak, maka wasiat pada asasnya bias ditarik kembali oleh pembuatnya.[8]
Para sarjana berpendapat bahwa pengakuan bersifat Deklatoir, Berpendapat, bahwa sekali pengakuan itu telah diberikan, maka pengakuan itu tidak bias ditarik kembali.
Dilain pihak juga harus diakui, bahwa suatu wasiat baru berlaku dan karenanya baru mempunyai akibat hokum seperti yang dikehendaki oleh pembuatnya. Pada saat si pembuat wasiat meninggal, jadi selama di pembuatnya masih hidup termasuk pada saat ia menarik kembali wasiatnya, wasiat itu belum punya kekuatan apa-apa.
Di dalam praktek yang paling sering adalah pengakuan oleh seorang ayah, yang namanya disebutkan dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan. Pengakuan seperti itu diberikan oleh ayah yang bersangkutan pada saat waktu melaporkan kelahiran anaknya.[9]
Cara yang kedua tersebut adalah pengakuan yang diberikan dalam akta perkawinan dari ayah dan ibu si anak luar kawin.
Hal itu berarti, bahwa lelaki dan perempuan yang semula mengadakan hubungan di luar nikah dan menghasilkan anak luar kawin, kemudian memutuskan untuk saling menikahi secara sah, dan sekaligus mengakui anak luar kawinnya. Jadi, yang diatur disini adalah pengakuan anak luar kawin yang sudah dilahirkan, dan pada waktu melaporkan kelahiran, belum diberikan pengakuan oleh “ayahnya”. Pengakuan seperti ini membawa akibat yang lebih jauh lagi, sebagai yang diatur dalam Pasal 272 KUHPerdata :“kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zinah atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan diluar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya, akan menjadi sah, apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan undang-undang atau, apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri”.
Cara yang ketiga adalah pengakuan yang dituangkan dalam suatu otentik. Yang dimaksud dengan akta otentik disini adalah akta notaries.
Pengakuan dalam akta otentik perlu ditindaklanjuti dengan melaporkannya kepada kantor Catatan Sipil, dimana kelahiran anak itu dulu telah didaftarkan, dan minta agar pengakuan itu dicatat dalam minit akta kelahiran yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, pasal 37 PJN menetapkan, bahwa :
“notaries wajib untuk melaporkan tiap-tiap pengakuan anak luar kawin yang dilakukan dihadapannya kepada Balai Harta Peninggalan, dalam wilayah mana ia bertempat kedudukan, dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam, dengan sekaligus memberitahukan, apakah ayah dan ibunya yang mengakuinya sudah dewasa atau belum, dan apakah pengakuan yang dilakukan oleh ayahnya terjadi sebelum dan sesudah ibunya meninggal”.
Di luar ketiga cara pengakuan seperti di atas, masih ada 1 (satu) lagi cara pengakuan anak luar kawin, seperti yang disebutkan dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata, yang berbunyi :
“pengakuan yang demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan dibukukan register kelahiran menurut hari penanggalannya. Pengakuan ini harus dicatat dalam jihat akta kelahiran”.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa pengakuan disini dilakukan terhadap anak yang sudah dicatat kelahirannya sebagai anak luar kawin, di dalam register kelahiran di Kantor Catatan Sipil.
Pengakuan susulan seperti ini ternyata, selain bias dilakukan dalam suatu akta notaries, juga nisa dilakukan di hadapan pegawai Catatan Sipil, yang wajib untuk membukukannya dalam register kelahiran yang berjalan, dan selanjutnya mencatat pengakuan itu di dalam minit akta kelahiran anak yang bersangkutan.[10]
Adapun yang dimaksud dengan “jihat” atau akta “minit” di sini adalah akta asli yang ada di dalam bundle akta Kantor Catatan Sipil, yang ditandatangani oleh yang melaporkan, para saksi dan Pejabat Kantor Catatan Sipil.
Contoh akta pengakuan anak :


PENGAKUAN ANAK
Nomor :
Pada hari ini, ………………………………………………………………………………………. menghadap kepada saya, …………………………………………………………, S.H., Notaris di …………………………/………………………….., dengan dihadiri oleh saksi-saksi, yang saya, Notaris, kenal dan nama-namanya akan disebutkan pada ------------------------------------------------ akhir akta ini : --------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Tuan A, ………………………………………………………………………………………..
2. Nona B, ………………………………………………………………………………………..
Para penghadap saya, Notaris, kenal ----------------------------------------------------------------------- Penghadap Tuan A dengan ini menyatakan mengakui anak -------------------------------------------- luar kawinnya, yang sesuai dengan laporan yang telah -------------------------------------------------- disampaikan pada tanggal ……………………………………………………….. Kepada Kantor Catatan Sipil di ……………………………………………………..., dilahirkan oleh penghadap Nyonya B, dalam laporan mana telah diberikan nama --------------------------------------------------- kecil X, sebagai anaknya. ------------------------------------------------------------------------------------ Penghadap Nyonya B menyatakan menyetujui pengakuan --------------------------------------------tersebut yang dilakukan oleh Tuan A. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Demikian akta ini ----------------------------------------------- Dibaut dan ……………………………………..

PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN
Nomor :
Pada hari ini, ……………………………………………………………………………………… menghadap kepada saya, ………………………………………………………, S.H., Notaris di …………………………………………………….., dengan dihadiri oleh saksi-saksi, yang saya, Notaris, kemal dan nama-namanya akan disebutkan pada ---------------------------------------------- akhir akat ini : -------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Tuan A, ………………………………………………………………………………………
2. Nona B, ………………………………………………………………………………………
Para pengahadap saya, Notaris, kenal. -------------------------------------------------------------------- Penghadap Tuan A menerangkan dengan ini mengakui ------------------------------------------------ sebagai anaknya, seorang anak laki-laki, yang lahir ---------------------------------------------------- di luar perkawinan dari penghadap Nona B tersebut ---------------------------------------------------- di atas, pada tanggal ………………………………………….., yang diberi ------------------------ nama kecil ………………………………………………………………..., kelahiran mana telah dilaporkan dan didaftar pada Kantor Catatan Sipil di -------------------------------------------------- ……………………, pada tanggal …………………………………………………...…, sebagai ternyata dan salinan akta kelahiran nomor …………………………………………...……, yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil tersebut di atas, ------------------------------------------------- tertanggal ………………………… : --------------------------------------------------------------------- Penghadap Nona B tersebut di atas dengan menyatakan menyetujui pengakuan anak …………………………………………….… tersebut di atas oleh Tuan A sebagai disebutkan di atas. ------------------------------------------------------------------------ ------------------------------------------- Demikianlah akta ini, --------------------------------------------
€Pembuktian kedudukan anak luar kawin yang diakui
Walaupun tidak ada ketentuan yang secara tegas mengatur hal itu, namun dari ketentuan Pasal 281 tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin harus membuktikan kedudukannya, melalui akta kelahirannya yang mengandung pengakuan, baik atas dasar pengakuan yang diberikan langsung pada saat kelahiran, ataupun melalui pengakuan yang dituangkan dalam akta notariil atau yang diberikan di hadapan Peagawai Catatan Sipil. Di samping itu, juga masih ada dasar lain, yaitu akta kelahiran yang mengandung pengakuan atas dasar keputusan Pengadilan berdasarkan Pasal 288 KUHPerdata. Jadi kewajiban pembuktian itu ada pada si anak luar kawin.
Suatu ketrentuan yang bersifat melindungi kepentingan si anak. Diberikan dalam pasal 281 ayat (4) KUHPerdata, yang menetapkan, bahswa :
“namun bagaimana tak bolehlah sesuatu kelalaian mencatatkan pengakuan itu diupersalahkan kepada anak yang diakui, untuk mempertengkarkan kedudukan yang diperolehnya.
Dapat diduga, bahwa masalah ini berkaitan dengan pengakuan yang dilakuan di dalam suatu akat otentik, walaupun tidak tertutup kemungkinan sekalipun kecil bahwa kelalaian itu terjadi pada pegawai Catatan Sipil. Hal itu berarti, bahwa kelalaian itu tidak mengurangi kedudukan anak yang bersangkutan sebagai anak luar kawin yang diakui.
Perkecualian
Terhadap prinsip pengakuan, pasal 283 KUHPerdata memberiukan perkecualian, dengan menetapkan bahwa :
“sekalian anak yang dibenihkan dalam zinah ataupun dalam sumbang, sekali-kali tidak boleh diakui, kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam Pasal 273”.
Jadi pada asasnya undang-undang melarang pengakuan anak zinah dan anak sumbang. Apakah pembenihan itu terjadi sepanjang perkawinan atau tidak, tidak relevan, sebab anak-anak seperti itu bias dibenihkan oleh mereka, yang salah satu pihaknya tidak terikat kepada perkawinan, sedang pada anak sumbang bahkan bias kedua-duanya, laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan, tidak terikat dalam perkawinan dengan siapapun. Patokan tersebut penting karena, anak zinah dan anak sumbang pada asasnya tidak bisa diakui secara sah, padahal tanpa pengakuan, anak-anak seperti itu pada asasnya bukan anak siapa-siapa
Yang memberikan pengakuan
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, yang berkepentingan untuk memberikan pengakuan terhadap anak luar kawin adalah baik ayah maupun ibunya.
Ibunya\
Walaupun sekarang pengakuan oleh ibunya kedengaran janggal, tetapi demikian itulah bunyi ketentuan KUHPerdata, yaitu seorang ibu perlu untuk mengakui anak luar kawinnya, agar ada hubungan hukum antara dirinya dengan anaknya.
Anak luar kawin bias dilahirkan oleh seorang perempuan, baik yang sudah dewasa maupun yang belum, sehubungan dengan masalah kedewasaan, yang berkaitan dengan masalah kecakapan bertindak[11] maka menjadi masalah, apakah seorang ibu yang belum dewasa bias mengakui secara sah anak luar kawin yang dilahirkan olehnya? Karena pengakuan anak luar kawin adalah tindakan yang bersifat sangat pribadi dan berkaitan erat sekali dengan diri pribadi yang bersangkutan. Menurut KUHPerdata memberikan jawabannya dengan menetapkan :
“:anak perempuan belum dewasa sementara itu, boleh melakukan pengakuan, pun kendati belum mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun”.
Dalam rangkaiannya dengan ayat sebelumnya mengatakan, bahwa :
“pengakuan terhadap anak luar kawin yang dilakukan seorang yang belum dewasa, adalah tanpa guna, kecuali si belum dewasa itu telah mencapai umur genap 19 (Sembilan belas) tahun dan pengakuan itu yang dilakukan pun bukan karena paksa, khilaf, tipu atau bujuk”.
Bapaknya
Karena anak luar kawin merupakan hasil hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak saling menikahi, maka hubungan itu bisa terjadi pada umur berapapun, sudah tentu pada saat keduanya sudah mampu untuk mengadakan hubungan badan dan membenihkan anak, oleh karena itu pengakuan anak merupakan tindakan hokum yang pada asasnya hanya dapat dilakukan secara sah oleh mereka yang sudah dewasa. Undang-undang secara tegas mensyaratkan batas umur dalam pasal 282 KUHPerdata. Jadi seorang laki-laki yang sudah mencapai umur genap 19 (Sembilan belas) tahun, dapat secara sah mengakui anak luar kawinnya.
Kesemuanya itu berkaitan dengan masalah akibat hukum yang luas dari tindakan pengakuan. Untuk tindakan hukum itu, diperlukan suatu kematangan pikiran, untuk bisa menyadari denganpenuh, akibat-akibat yang akan muncul dari tindakannya.

.

3. Pengakuan karena terpaksa
[1]Bandingkan dengan Pasal 3 Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
[2]Untuk mudahnya, mereka adalah anak-anak tidak sah, yang bukan anak zinah maupun anak sumbang.
[3]Untuk Negeri Belanda, dengan ditambahkannya Pasal 344 a dalam BW., maka bunyi Pasal 335 BW Belanda atau Pasal 280 KUHPerdata tidak cocok lagi, karena sekarang di Negeri Belanda tanpa Pengakuan pun bisa ada hubungan hokum kekayaan antara anak luar kawin dengan “bapaknya”, dalam wujud, kewajiban pemeliharaan sampai si anak dewasa. Karenanya, kata hubungan hokum dalam Pasal 335 Belanda diusulkan untuk diganti dengan “hubungan kekeluargaan”, baca Hofmann, hal 117
[4] Sebagaimana sudah dikatakan di depan, dalam perkembangan perkembangannya di Negeri Belanda maupun di Amerika Serikat, perbedaan antara anak sah dan anak luar kawin di dalam hukum sudah tidak sebesar seperti dulunya; Asser-deRuiter, hal 447. Kata Harry D Krause dalam halaman 153, “Today, constitutional law grants legal equality to the nonmarital (illegitimate)child”.

[5]Di dalam hukum adat kadang-kadang melalui suatu tindakan “pengesahan”, anak luar kawin mempunyai hubungan dengan ibunya sama dengan seorang anak sah. Katanya “Het kind staat no tot zijn ongehuwde moeder in gelijke verhouding als het tijdens huwelijk geboren mind”, demikian Ter Haar, hal 145.
[6] Hofmann, hal 111.
[7] J. Satrio, Hukum Pribadi, hal 111.
[8] J. Satrio, Hukum Waris, hal 180
[9] Pasal 41 C.S.E dan Pasal 55 C.S.T
[10] Pasal 53 C.S.E dan Pasal 65 C.S.T
[11] J Satrio, Hukum Pribadi, Buku I, Hal 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar