Selasa, 05 Mei 2009

Perbankan

Untuk menunjang tercapainya suatu keberhasilan pembangunan yang bertumpu pada pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat serta dinamis, maka dipandang perlu peran aktif masyarakat pada umumnya dan peran aktif dunia perbankan pada khususnya untuk mendanai pembangunan, mengingat dana pembangunan dari pemerintah sangat terbatas akibat menurunnya penerimaan Negara diberbagai sector akibat krisis moneter/ ekonomi
Untuk itu, diperlukan sebuah system perbaikan yang sehat dan kuat, tangguh dan dapat memelihara kepercayaan masyarakat, hal mana merupakan suatu kebutuhan yang tidak bias diabaikan, mengingat lembaga perbankan berperan strategis dalam rangka pembangunan nasional. Peran tersebut terlihat terutama pada bank sebagai lembaga pembiayaan utama dalam rangka pembangunan serta penyedia jasa sirkulasi keuangan dan sebagai pendukung utama jalanya pembangunan. Berbagai kebijakan sector keuangan dunia perbankan akan berpengaruh dengan kegiatan pembangunan ekonomi, misalnya kebijakan menaikkan suku bunga pinjaman akan mempersulit pengusaha sector riil yang mengandalkan usahanya dari dana pinjaman perbankan.
Seiring dengan berjalannya waktu telah terjadi perubahan-perubahan yang cepat dan cukup mendasar baik dalam perekonomian nasional maupun dunia internasional. Perubahan-perubahan paradigm yang terjadi dalam iklim politik dan perekonomian nasional tersebut mengakibatkan semakin kompleksnya tantangan-tantangan yang dihadapi oleh dunia perbankan. Deregulasi sector perbankan nasional yang memacu pertumbuhan secara kuantitas institusi perbankan, kurang diikuti dengan regulasi dan pengawasan yang ketat. Keadaan yang demikian diperparah oleh kalangan banker yang kurang menjaga asas kehati-hatian dalam menjalankan usahanya, yang mengakibatkan lemahnya kualitas usaha perbankan.
Akhir-akhir ini bank sebagai sebuah lembaga penyalur kredit banyak dilanda kredit bermasalah khususnya kredit macet. Agar lembaga perbankan dapat terhindar dari kredit bermasalah, maka sebaiknya penyaluran kredit oleh pihak perbankan harus sangat hati-hati dan selektif. Hal ini sesuai dengan Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian bank harus dipegang teguh dan kegiatan usaha bank perlu lebih disempurnakan[1] .
Seorang pejabat bank mempunyai kebijakan / kewenangan dalam memberikan kucuran kredit kepada kreditur dengan berbagai pertimbangan. Pemberian kredit, misalnya 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condirion of Economy) merupakan pertimbangan yang mutlak diperhatikan. Jika dikemudian hari ternyata kredit tersebut macet, maka yang patut dipertanyakan yaitu apa yang menjadi penyebab sehingga debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Dalam berbagai kasus, penyebabnya yaitu karena usaha yang dibiayai dengan dana bank tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ada yang karena kelalaian pejabat bank yang bersangkutan dalam prosedur pemberian kredittersebut disalahgunakan penggunanya.
Kebutuhan pembiayaan dan peranan perbankan benar-benar sangat diperlukan. Hal ini dapat dilihat dengan mulainya lagi pembangunan berskala besar yang beberapa tahun lampau mulai dikurangi.
Perbankan diharapkan menjadi sumber pembiayaan, sejalan dengan ketentuan Undang_undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dimana perbankan diartikan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakatdalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam meningkatnya taraf hidup rakyat banyak. Karena itu, perbankan mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat pentin g dalam menunjang terlaksananya kepentingan pembangunan.
Sebagai salah satu usaha pokok perbankan, maka pemberian kredit merupakan prioritas utama. Kredit di sini berupa penyediaan dana atau uang tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak lain / pihak peminjam untuk melunasi setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga imbalan / pembagian hasil keuntungan. Hal ini berdasarkan pada ketentuan pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kredit adalah :
“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka tertentu dengan pemberian bunga”.
Kemampuan teknologi dan social ekonomi senantiasa berkembang dan akan memberikan dampak terhadap peningkatan di berbagai bidang pembangunan. Intensitas kegiatan pembangunan tersebut menyebabkan kalangan dunia usaha mencari alternative sumber dana guna membiayai proyek-proyeknya dan untuk mengantisipasi perkembangan yang ada. Di kalangan perbankan telah diupayakan bentuk-bentuk pembiayaan baru agar pertumbuhan dunia usaha dapat terus di pacu. Sasarannya antara lain mencakup penyediaan dana dalam jumlah besar, jangka waktu pengembalian kredit yang relative panjang dan suku bunga yang kompetitif serta sebagai alat untuk mengakses ke pasar modal, baik domestic maupun internasional. Salah satu alternatifnya yaitu dalam bentuk kredit sindikasi dengan pertimbangan bahwa pemberian pinjaman dalam jumlah besar akan membawa risiko yang besar pula, sedangkan apabila melalui sindikasi beban risiko dapat ditanggung bersama sesuai dengan besarnya keikutsertaan masing-masing bank.
Selain dari kemungkinan yang menyangkut keterbatasan suatu bank untuk memberikan dukungan dana yang besar,
[1] Tri Joko, “Perbuatan Melawan Hukum dalam Kebijakan Pemberian Kredit Macet pada Bank Pemerintah”, dalam Varia Peradilan No. 267, Tahun ke XXII, Agustus 2007, Hal 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar